33. Demi Menyambung Hidup

156 3 0
                                    

Awalnya ia ingin setegar batu karang yang akan selalu kuat kala diterjang ombak dan badai besar. Ia akan menjadi pemberani di tengah keramaian yang membuatnya terasing. Tidak menghiraukan segala hinaan yang datang padanya silih berganti. Pun tak mau terperosok dalam lubang yang ia ciptakan sendiri.

Ia emang selalu mandiri sejak kecil. Tetapi ia tak tahu kemandirian yang ia dapatkan dari sang papa merupakan pertanda sebagai bekal masa depannya kelak yang jauh dari perkiraan.

Ia masih ingat tatkala papanya dulu mengatakan, "Mandiri itu harus dimulai dari kecil, Nez, agar nanti saat dewasa kita tidak merepotkan banyak orang, juga tidak bergantung pada orang lain."

Dan ketika ia menjawab, "Kan ada papa yang bantuin Inez."

"Iya, kalau papa masih ada, Inez bisa ngandalin papa. Kalau papa udah nggak ada, gimana? Kan Inez harus melakukan apa-apa sendiri."

Saat itu si Inez kecil menggeleng panik. "Enggak, Inez nggak mau papa pergi. Inez mau selalu bersama papa!"

Jika udah seperti itu papanya hanya akan tersenyum hangat seraya mengusap lembut rambut panjang anaknya, lalu mengajak bermain untuk menghiburnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hanya papanyalah yang selama ini mengerti dirinya dan meramaikan kesepian. Tatkala sang mama sibuk dengan ponselnya dan dunianya sendiri, atau bahkan dengan kehidupan sosialitanya, hanya sang papa yang menemani dirinya bermain dan menjadi pelipur lara.

Tubuh Inez rasanya sakit semua. Andaikan ada papanya, ia pasti tidak akan mengalami seperti ini. Bekerja sepanjang waktu untuk keluarganya, dari memasak, menyapu, mengepel, menyetrika, mencuci piring dan pakaian, bahkan membersihkan kamar mandi pun ia lakukan sendiri.

Dulu saat ada papanya, masih ada para pembantu yang melakukan semua tugas rumah, sementara dia yang suka sekali memasak akan dengan senang hati membantu si mbok di dapur.

Raganya di sini, tetapi jiwanya seolah melayang ke masa-masa dulu ketika semua masih lengkap. Dia hanya bisa menghela napas berat dan menangis seorang diri kala mengenang papanya.

Inez beranjak dari kamar setelah beberapa menit menekuri potret dirinya dengan sang papa di sebuah pigura yang ia pegang. Tiap kesedihan membelenggu, hanya potret dan kenangan itu yang membuatnya kembali bersemangat.

Usai berganti baju selepas mandi, Inez buru-buru pergi ke luar.

"Mau ke mana lagi, Nez?" tegur mamanya sambil makan kentang goreng di depan televisi.

Ia menghela napas lelah. "Ada urusan," jawabnya, tidak menoleh sedikit pun.

"Oh, ya, mama nitip—"

Tanpa menunggu mamanya selesai bicara, Inez sontak berjalan meninggalkan beliau. Ia tahu ia salah, tapi ia juga tahu mamanya akan berucap apa. Setiap kali ia keluar, beliau kerap menitip ini dan itu tanpa bertanya apakah anaknya ada uang atau tidak. Apalagi uang di dompet hanya tersisa lima puluh ribu rupiah. Ia lebih memilih berpura-pura tidak mendengar daripada menolak secara langsung.

Ia tak tahu harus mencari pekerjaan di mana. Memangnya perusahaan apa yang mau interview calon karyawan di sore hari begini?

Sementara tiap pagi, waktunya hanya bisa ia gunakan untuk melakukan pekerjaan rumah serta memenuhi kebutuhan mama, juga adiknya. Dan di sinilah dia sekarang.

Menatap sebuah warung cukup besar yang sedang ramai pengunjung. Dengan ragu-ragu ia langkahkan kakinya memasuki warung makanan di depannya.

"Bu, apa di sini ada lowongan pekerjaan?" tanya Inez terlihat canggung.

Terpaksa ia harus mencari pekerjaan apa pun itu untuk menyambung hidup keluarganya.

Seorang ibu yang sibuk melayani para pembeli itu tiba-tiba menoleh pada Inez yang berdiri kaku di belakangnya. "Kamu cuci piring sana. Banyak cucian menumpuk."

Cewek Agresif VS Cowok PolosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang