BAB 1: Eyeliner Tertinggal Pertanda Buruk

13 0 0
                                    


Aku mengutuk diri sendiri karena memuja sebatang pensil. Harusnya aku tidak mudah percaya ahli kecantikan soal eyeliner. Sampai aku mengoleksi berbagai jenis, mulai pensil, liquid, hingga gel demi percaya diri. Tapi semua koleksiku tertinggal di rumah, seolah-olah mengawali kesialan hari pertama liburan di Pulau Belitung ini.

"Dia cowok atau bukan, sih?!" rutukku.

Bella, kawan baruku yang berdiri di sampingku, hanya nyengir. Perawakannya mungil. Aku yakin, dia memakai kaos v-neck agar terkesan punya leher jenjang dan terlihat tinggi. Mungkin penjelasanku ini mengandung unsur dengki. Masa bodoh.

Bella berkomentar, "Dia temanmu, kan?"

"Bukan!" bantahku cepat, seumpama memasukan laki-laki itu dalam daftar teman adalah aib besar.

Bella melirik, "Hati-hati, dari benci bisa jadi cinta."

"No... no... no!" tegasku dengan gelengan jari telunjuk.

Dalam kamusku, cinta pasti datang sejak pandangan pertama. Tepat ada yang bergemuruh di dada ini. Buktinya, aku saja lupa kapan pertama kali ketemu Sandy, cowok itu yang juga seniorku di kampus.

Yoga, kawab baruku juga, yang tadi berdiri di samping Bella, akhirnya beranjak mendekati toilet pria. Mungkin kakinya sudah mulai kesemutan karena lelah berdiri. Baru tiga langkah, akhirnya Sandy menunjukkan wajahnya.

Tuh lihat! Jalannya saja kayak naik motor 5 km/jam! Kalau dia ikut lomba lari balita juga tetap kalah. Bisa jadi, liburanku ini malah berujung stres kalau setiap saat harus berhadapan dengan cowok lemot itu. Atau jangan-jangan, dia itu siluman siput? Kan aku boleh curiga, dia cowok beneran atau jadi-jadian sih?! hiii...

Aku lihat jemarinya sibuk mengais sesuatu dari dalam tas sembari berjalan mendekati kami. Lagaknya mirip Jack Sparrow mencari harta karun saja, huh!

"Bedakan dulu di toilet? Ngasih lip balm dulu biar bibir nggak kering? Sekalian numpang mandi dulu aja, kan tadi penerbangan pertama," celetukku ketika Sandy sudah berdiri di dekat kami.

"Maaf," pinta Sandy seraya menarik hidung.

Mataku membelalak. Baru tahu ia punya tipe hidung greek nose, karena ini pertama kalinya aku berdiri di dekatnya. Itu tuh, hidung yang berbentuk lancip dan lurus. Perfect! Menurut primbon, hanya 3% orang di dunia yang terlahir dengan hidung dambaan tersebut. Kok rasanya pengen narik hidungnya juga, eh, berhenti, Delvy!

"Enggak apa-apa, Delvy. Kan tadi Sandy juga nggak lama banget," Yoga menenangkanku.

Ah, memang Yoga lelaki tulen. Paham gimana memperlakukan perempuan.

Sementara wajah si pelaku alias Sandy, datar! Kayak nggak merasa bersalah sudah membuat kita menunggu. Untung saja nggak sampai jadi sarang laba-laba.

Kami pun melangkah ke bibir pelataran bandara sembari membawa tas masing-masing. Aku melihat ada mobil travel berhenti dengan pintu terbuka. Bergegas aku naik ke mobil tersebut, duduk di pojok, menaruh tas ransel di bawah.

"Delvy," panggil Yoga.

Aku menyandarkan punggung lalu menoleh.

"Itu bukan mobil kita."

Glek! Mataku membelalak. Tuh kan! Eyeliner tertinggal itu sudah pertanda buruk! Seharusnya aku lebih hati-hati. Tentu saja banyak agen travel yang siap mengantarkan pengunjung berlibur di pulau cantik ini.

Sementara itu aku melihat Sandy tersenyum kecil. Mungkin ingin tertawa terbahak-bahak tapi ditahan. Oh, ternyata dia bisa tertawa tampaknya. Lalu kenapa dari tadi pagi bibirnya datar terus?!

Jadi, ini toh rasanya dapat karma secepat kilat. Aku tidak bisa tinggal diam, Sandy, lihat saja nanti pembalasanku! 

SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon