BAB 6: Flashback di Bandara Jakarta

2 0 0
                                    

Pagi-pagi cacing di perut sudah bungkam oleh sepaket makanan fast food yang harganya selangit. Namanya juga resto di bandara. Sok tajir nih aku. Wajar dong kalau aku berjalan tegap. Walaupun eyeliner tertinggal di rumah itu bagaikan melenggak-lenggok di atas catwalk tanpa ada seorang penonton, huhuhu...

Jantungku berdegup kencang. Bertepatan dengan dua bola mataku menangkup sesosok menawan. Penampilannya memikat dari ujung kepala hingga kelingking kaki yang tertutup sepatu kets. Sebentar, memangnya kelingking kakinya bisa terlihat gitu? Hihihi.

Lelaki itu berdiri tegap. Tingginya sekitar 175 cm dengan berat badan seimbang. Aku yakin, wangky shirt biru itu menutup otot bisep kencangnya. Mungkin berdada sixpect. Rambut botak licin, cukup menyilaukan mata ketika memantulkan cahaya mentari, eh. Kacamata dengan frame tipis, menyinarkan otak cemerlang, mungkin.

Dia melemparkan senyuman kepadaku.

Oh tidak, kakiku terasa lenguh, jangan sampai aku pingsan di hadapan cowok cakep itu.

"Delvy?" tanya cowok itu seraya mengacungkan telunjuk padaku.

"Ya."

Cowok itu menambahkan, "Aku Yoga." Dia adalah satu-satunya panitia yang menemani liburan. Aku, kedua pemenang, dan Yoga, akan berlibur ke Belitung sebagai hadiah lomba.

Kami berjabat tangan. Alamak, kulit telapak tangannya saja lembut.

"Saya Bella," sahut perempuan di samping Yoga sembari mengajakku bersalaman.

Aku pun terpaksa menyambut jabatan tangan perempuan itu. Dari pada Yoga mengira aku galak sama cewek-sok-cantik.

"Kita masih menunggu satu orang ya," jelas Yoga.

Oh, oke. Buru-buru aku beralih ke sisi Yoga. Sesekali melirik. Mencuri pandang. Dia seakan memiliki daya magnet kokoh yang acap kali menarik dua bola mataku. Cakep nian! Kalau bisa, satu orang yang ditunggu jangan buru-buru datang deh. Biarkan aku puas menikmati lekuk wajah Yoga yang bikin ngiler pun tak terasa.

"Pokoknya di sana harus hati-hati."

Seketika kami bertiga terpaku pada suara lantang-semi-cempreng itu di halaman luar bandara yang sudah mulai sepi. Seorang anak lelaki, satu orang anak perempuan, beserta bapak dan ibu mereka. Mobil melesat setelah keempatnya turun.

Tunggu, Mereka pergi berempat tetapi hanya menyeret satu koper? Apa mereka bisa menyulap baju mengecil-membesar seenaknya? Tapi, kok langkah mereka mendekatiku.

"Halo, Nak Yoga," sapa Bapak itu.

Yoga memberi sambutan senyum.

"Ini Yoga. Salah satu tim panitia, kemarin saya sempat ketemu di kantornya," jelas Bapak itu kepada si Ibu. Wanita paruh baya itu mengangguk berkali-kali. "Maaf ya, Nak Yoga. Saya hanya memastikan dengan siapa anak saya akan pergi selama tiga hari ke depan."

"Oh, tidak apa-apa, Om."

"Sekarang banyak penipuan," dalih si Bapak.

Ha?! Anak bapak sebesar itu masih harus dijaga? Enggak salah apa? Aku yang cewek tulen saja berangkat dari Surabaya sendiri ke bandara Jakarta ini. Cowok apaan itu? Cuih!

"Sudah simpan nomer HP dia, Pak?" tanya si Ibu kepada suami.

"Sudah kok. Mereka panitia beneran. Ibu tenang saja," jelas Bapak itu.

Putra mereka hanya menunduk, seperti terdakwa yang pasrah menghadapi tuntutan.

"Ibu pergi dulu ya, Sandy. Kamu hati-hati di sana," pamit si Ibu. Bapak juga ikutan pamit dan memeluk anaknya erat. Adiknya pun tak ketinggalan bersikap seolah Sandy hendak berperang. Membela bangsa dan negara, padahal, Sandy cuma bakal berlibur. Mereka melambaikan tangan ke arah Sandy sampai kami semua masuk.

Gotcha, ternyata seniorku yang populer sebagai mahasiswa teladan itu anak mama toh.


Catatan: khusus hari ini publish sehari lebih cepat ya. 

SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGWhere stories live. Discover now