BAB 3: Memori Lama di Bendungan Pice

6 0 0
                                    

Tujuan wisata berikutnya adalah Bendungan Pice. Bangunan peninggalan Belanda yang menurutku menyerupai jembatan, dengan 16 pintu, sehingga air sungai melalui pintu kecil, lalu jatuh dari ketinggian 10 meter, seperti air terjun. Beberapa warga lokal juga tampak menikmati wisata alam ini.

"Namamu bagus, Delvy," celetuk Yoga.

Aku hanya melemparkan senyum sejenak. Dari dulu, aku tak suka orang kepo dengan kenapa namaku Delvy. Pertanyaan nama seakan memetik kenangan yang acap kali menghantuiku. Bagaikan tombol on yang memutar cuplikan kehidupan kelam di masa lalu.

"Iya. Delvy artinya apa sih?" sahut Bella.

Kali ini aku hanya membalas Bella dengan nyengir. "Dulu, orang tuaku penggemar salah satu presenter televisi. Namanya Delvy Yahya. Simple kok," jelasku dengan nada datar. Lalu aku memilih menegak air agar tidak ada pertanyaan susulan.

Yoga hanya mengangguk lalu mengganti topik pembicaraan, "Kalau suasana seperti ini, paling enak bareng pacar ya."

"Uhuk! Uhuk!" Aku tersedak. Memang, jimat eyeliner yang tertinggal di rumah, kian menunjukkan takdir buruk yang menghantuiku, duh!

"Ceweknya anak mana, Kak?" Oke, Bella memang ratu kepo.

"Teman kantor."

Ah, hatiku benar-benar hancur tanpa sisa. Detik ini juga.

"Sudah lama?" cerocos Bella.

"Dua tahun."

Aku menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga menolak suara dari bibir Bella dan Yoga. Enggan menghadapi kenyataan kalau gebetan baruku wajib tercoret dari daftar calon pengisi hati. Padahal Yoga masih level cowok incaran, oalah... pupus!

"Padahal waktu pertama ketemu sih biasa saja, sekitar tiga tahun yang lalu, tetapi lama-lama baru terlihat sosoknya yang menawan," imbuh Yoga sembari mengulum senyum seorang diri.

Bella berkomentar, "Love at first sight isn't always real."

Yoga mengangguk. "Exactly!" suaranya lantang mewakili hatinya tengah mengembang.

Aku terhenyak. Benarkah?

"Kita bisa menilai sosok terbaik setelah cukup waktu berteman dengannya," imbuh Yoga.

Ha? Tidak! Love at first sight is real!

"Baiklah, saatnya kita menikmati sunset bersama teman-teman baru," celoteh Bella riang.

Ocehan Bella membuat mataku mengerjap. Kepalaku mendongak. Tepat senja berarak menampakkan posisi. Banyak yang memberi nilai sempurna pada momen itu, tapi aku justru sebaliknya. Aku BENCI sunset!

Tampaknya aku tidak pernah berjodoh dengan sunset. Bukan karena barusan hatiku patah setelah tahu calon gebetan, Yoga, ternyata sudah punya kekasih, tepat ketika akan menikmati sunset. Bukan juga karena aku pernah putus pas sunset, padahal katanya seharunya jadi momen romantis kan? Tentu, ada kenangan pahit semasa kecil yang tak akan pernah aku lupakan, itu janjiku pada diriku.

Langkahku mundur. Bosan sudah menatap pergerakan awan yang sama sehari-harinya. Heran aku dengan semua orang yang sangat suka membeku hanya menatap sunset. Seumpama kalau matahari terbenam adalah hal yang istimewa. Hei! Setiap hari juga seperti itu.

"Aku nunggu di mobil ya," tukasku lalu berjalan meninggalkan kawan-kawan baru.

Bella terperangah, "Loh, kok?" teriaknya.

Aku tak mengindahkan pertanyaan Bella. Langkahku lurus saja menuju mobil. 

"Delvy!" panggil Yoga yang sepertinya merasa kehilangan cewek cantik sepertiku, alamak menghalu memang asyik. "Kapan lagi lihat sunset sebagus ini?" imbuhnya.

Aku berbalik, "Enggak apa-apa, cuma capai, pengen duduk di mobil, kalian have fun ya," sambungku lalu memutar tubuh untuk mencapai mobil.

"Delvy!" panggil Yoga lagi.

Aku hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arah mereka. Isyarat yang memberi kebebasan mereka untuk menjalani semuanya tanpa kehadiranku sementara. Mungkin aku akan baik-baik saja. Ya, mungkin.

SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGWhere stories live. Discover now