BAB 8: Batu Granit Pasti Tersenyum Kecil

1 0 0
                                    

Perahu kembali berlayar menuju pulau yang lain, di Batu Berlayar. Bedanya, ada pula gugusan granit. Meski bentuknya sama seperti batu pada umumnya, tapi ukurannya raksana, sampai 10x lipatnya rata-rata tinggi manusia.

Bella berlari menaiki granit terdekat, mengingatkanku pada Tarzan yang seribu tahun mendekam di hutan dan baru melihat kemajuan dunia saat ini. Norak banget deh! Tahu dong kalau di mana-mana yang namanya batu ya seperti itu.

"Fotoin ya," pinta Bella kepada Sandy dengan sedikit teriak.

Aku tahu, dia pasti berharap menjadi pusat perhatian pengunjung yang datang. Sok cantik! Pernyataan sinis, seakan aku lupa kebaikannya rela berbagi eyeliner denganku. Aku sudah mencium gelagat Bella, semenjak tahu kalau Yoga telah memiliki kekasih sejati, dia mengalihkan sasaran gebetan kepada Sandy. Anehnya, Sandy juga kok mau-maunya menuruti permintaan Bella begitu saja.

Bella membentangkan tangan sebelum Sandy menekam tombol capture.

"Satu... dua... tiga."

Hei! Mengapa giliran foto Bella, si Sandy pakai berhitung terlebih dahulu? Sangat bertolak belakang ketika fotoin aku! Aku memincingkan mata seraya menatap Sandy. Pikiranku menebak karena Sandy tidak suka denganku yang popular di kampus. Sementara dia? hanya terkenal di ruang dosen, huh, picisan sekali.

"Delvy! Foto sini!" ajak Bella. Tangannya berayun.

Aku menggeleng, "Di Surabaya juga banyak batu," dalihku.

"Tapi enggak ada yang sebagus ini," Bella bersikukuh. Jemarinya menunjuk satu per satu granit di dekatnya.

Aku menguatkan gelengan.

Bella menggendikkan bahu.

Kedua bola mataku masih tertuju pada Sandy dan Bella yang berlagak bak model serta fotografer. Lebih baik aku yang menjadi model, bodiku sudah langsing mirip model yang belum makan seminggu, hiks.

"Pulau Belitung identik dengan granit raksasanya. Beneran tidak mau memiliki, setidaknya satu foto saja dengan latar belakang batu itu?" bisik Yoga yang membuyarkan pandanganku terhadap Bella dan Sandy.

"Enggak!"

"Jauh-jauh ke Belitung kok cuma diam," desaknya.

Aku bergeming sejenak. Pandanganku masih mematung pada Sandy dan Bella. Gerak-gerik keduanya meletupkan iri yang membara. Jangan sampai solar di dalam perahu nelayan itu mendekatiku yang tengah panas!

"Cuma mau Sandy yang foto ya?" Yoga melirikku genit, bukan menggodaku, lebih tepatnya ledekan.

"Ih, amit-amit," Tanganku bersedekap.

Big no! Pantangan besar bagiku minta Sandy jadi fotografer lagi. Baru sekali saja minta tolong Sandy, hasilnya wajahku mirip monyet merengut. Jangan-jangan kalau dua kali, fotoku bakal menyerupai kambing, sapi, atau banteng sekalian!

"Sandy itu pintar memilih angle foto lho."

Duh, mendadak batin ini pengen hepi-hepi difoto kayak Bella di sana.

Usai Bella berdiri di atas batu yang setinggi dua meter, Sandy mengarahkan untuk menempel di batu yang tingginya mencapai lima kali tubuh manusia pada umumnya. Jadi, dari foto itu saja sudah terbayangkan betapa besarnya kumpulan granit di sini.

Ah, kalau biasanya jalan-jalan ke mall dan para mannequin seolah-olah memanggilku, sekarang justru batu-batu berbentuk abstrak itu yang seakan tengah melambaikan tangan kepadaku. Oalah...

"Sudah foto sana," perintah Yoga.

Kepalaku geleng-geleng lagi.

"Rugi lho."

"Cuma batu kok."

"Sudah panggil sana si Sandy."

"Makasih deh."

"Ayo, itu Bella baru selesai foto-foto sama Sandy."

"Najis!"

"Buruan."

"Enggak!"

"Panggil!"

"Kak Sandy!" pekikku. Eh, kok aku?

Senyum kemenangan Yoga tersungging. Dia beringsut pergi tanpa ada tanggung jawab berikutnya. Aku seperti tikus di film ratatouille yang ketahuan basah lagi mengaduk makanan. Mau lari bakal kena terjangan rantang, mau pasrah juga tetap kena gampar kompor. Mati aku!

Apalagi Sandy sudah menoleh dan tengah menatapku lekat-lekat. Jelas-jelas dia menanti kalimatku selanjutnya. Tetapi, ough! bibirku mendadak tercekat. Menghasilkan omongan yang terbata-bata, sangat tidak elegan!

"Aku... aku... aku..."

Sandy mengernyitkan dahi, lalu mendekatiku. Seketika kehadirannya meletupkan nada di jantungku. Seperti ada Agnes Monica dan seluruh para dancernya menari di dalam dada. Dentuman drum, petikan bass, nuansa hip hop juga membahana di batin hingga cetaaaarrr!

"Bisa minta tolong fotoin?" tanyaku lirih.

Sandy mengulurkan tangan.

"Tapi janji, harus hitung satu, dua, tiga dahulu biar hasil fotonya cantik," pintaku.

"Deal."

Kalau ada yang bilang aku baru saja menjilat ludah sendiri? Terserah!

***

Perjalanan berlanjut ke pulau berikutnya. Aku dan Sandy duduk di baris terdepan. Sementara Bella dan Yoga duduk di belakang kami. Sedangkan Pemandu berdekatan dengan nahkoda, so sweet, eh.

Aku melirik Sandy.

Sandy memeluk tubuh, dengan jemari kanan menerkam lengan kiri, begitu pula sebaliknya. Aku melihat jaketnya bersembunyi dari balik pelampung. Padahal cuaca cukup terik, tapi Sandy justru berpenampilan bak di kutub. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Mungkin bom? jimat? pelet? Aneh!


Catatan: khusus hari ini publish sehari lebih cepat ya. 

SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGWhere stories live. Discover now