BAB 9: Mercusuar Cinta

1 0 0
                                    

Selanjutnya menjejaki pulau Lengkuas. Bedanya, ada mercusuar tua peninggalan kolonial atau tahun 1882. Kami berempat siap masuk mercusuar dan naik sampai ke atas. Kakiku meniti tangga yang terbuat dari besi. Bentuknya memutar yang terputus di setiap lantai.

Aku yang awalnya berada di posisi paling akhir, perlahan-lahan mampu menyalip Sandy, Yoga dan Bella, mirip Marquez yang lihai mengejar ketertinggalan di arena balap, wuizzz.

Sandy terlihat kelelahan ketika langkahku hendak menuju lantai sembilan. Bibirku merengut. Menanti adalah hal yang paling tidak kusukai. Kecuali menunggu setoran uang bulanan dari Papa, eh.

"Kok berhenti?!" rutukku.

"Kalian ke atas dulu. Aku menemani Sandy," bantah Yoga.

"Aku juga di sini. Sekalian istirahat sebentar," sambar Bella.

Wajahku bersungut. Siapa sih Sandy? Memangnya dia putra mahkota? sampai harus menunggu satu orang tak penting itu. Langkahku beringsut ke jendela kecil yang kerap kali ada di setiap lantai.

"Sudah. Ke atas yuk."

Yes! Perjalanan pun lanjut. Kirain dia mau berhenti sampai di sini, terus turun deh. Kalau iya, cemen deh jadi cowok.

"Kamu beneran enggak apa-apa, Sandy?" tanya Bella sembari menatap wajah Sandy lekat-lekat.

Sejurus kemudian, darahku mendesir kencang. Tapi, aku sekuat tenaga melenyapkan rasa baru ini.

Kakiku berderap hingga mencapai lantai teratas mercusuar atau lantai 18. Mataku menangkap alam yang memukau. Dari atas, terlihat biru laut membentang, dan hijau toska di sisi dekat gugusan granit.

Di teras mercusuar ini terbilang kecil. Bentuknya mengitari bagian atas mercusuar. Setiap dua orang yang berpapasan harus berhati-hati karena sempit. Batasan luarnya hanya pagar putih satu meter. Dengan angin kencang membuat pengunjung harus menjaga keseimbangan tubuh.

"Sandy, fotoin aku dong," pinta Bella genit.

Ingin sekali aku menyambar Bella. Buat apa sih minta tolong pakai suara serak-serak basah gitu?! Memangnya dia lady rocker?! Sialnya! Sandy justru menurut. Kenapa Bella enggak minta tolong Yoga yang jelas-jelas berdiri di sampingnya.

"Kamu di sini saja. Lebih bagus backgroundnya," pinta Sandy sambil menunjukkan spot menarik.

Bella beringsut mendekati sisi sesuai titah Sandy.

Aku mengepalkan tangan!

"Mau aku fotoin?" tawar Sandy kepadaku seketika usai memoto Bella.

Mataku mengerjap. "Eh, eee..." Aduh! Kenapa aku gugup seperti ini? mirip bertemu dengan dosen killer saja. "Mau," aku mengaku lirih.

Jemariku memegang erat pagar putih. Takut anginnya jauh lebih keras dari pada kekuatan jari-jariku. Enggak lucu kalau nanti ada berita, 'Seorang Pengunjung yang Terlalu Kurus, Tertiup Angin di Pulau Lengkuas, Belitung'. Duh! Habis, mau gimana lagi, Sandy minta aku berdiri di situ, katanya angle-nya pas banget. Sementara dia enak, bersandar dinding. Kalau aku? terpeleset sedikit saja bisa jatuh mencium dasar pulau, muah.

"Kok mukanya tegang? Takut ya?" tebak Sandy.

"Enggak kok," aku mengelak. "Niat foto enggak sih?!" gertakku. Mataku ganti melotot.

Sandy membidik lensa kamera ke arahku. Aku kembali melesatkan senyum. Menahan agar mataku tidak berkedip. Apalagi Sandy tak kunjung memulai hitungan. Ditambah angin yang cukup kencang mengeringkan mataku. Aku mengedipkan mata sekali. Jepret!

"Kok merem?" tanya Sandy,

"Hitung satu dua tiga dulu dulu dong," pintaku sedikit membentak.

Kami mengulangi sesi pemotretan. Jiaaahh... kayak foto model saja. Biarin, memang model wanna be tapi enggak pernah kesampaian sih.

Aku mengingatkan, "Hitung satu..."

Sandy melanjutkan, "Dua... tiga."

Jepret. Sandy mengarahkan di mana aku berdiri untuk meraih background cantik. Aku menurut begitu saja. Setidaknya sebentar saja aku dapat berdamai dengannya. Padahal, dia enggak salah apa-apa sih.

Habisnya, Sandy itu lelet banget. Aku tidak suka hal yang lama, seperti pengalaman pahit yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidup.  


SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ