BAB 2: Kesialan (Lagi) di Rumah Adat

8 0 0
                                    

Pandanganku beralih 180 derajat, pada pintu depan rumah adat. Menurut info Pemandu tadi, jumlah tiang dan jendela yang ada di rumah wisata ini juga ganjil. Masyarakat sekitar memiliki kepercayaan unik mengenai rumah yang identik dengan angka gasal. Hhhmmm... kira-kira jumlah tukang yang membangun juga dilarang genap enggak ya?

Ck... ck... ck...

Pemandu mempersilahkan kami menikmati isi rumah khas Belitung. Mataku pun menangkap pakaian adat pengantin. Memang ya, segala sesuatu yang berbau married-and-happily-ever-after kerap menggoda iman. Sabar, Delvy, kan masih semester 5.

Usia menikmati isi rumah adat akhirnya satu per satu mulai keluar. Sebagai sosok yang narsis akut, aku wajib berfoto dengan background rumah bergaya melayu. Celingak-celinguk mencari Bella atau Yoga. Batang hidungnya pun tak terlihat. Sayangnya, hanya tampak Sandy yang duduk di tangga. Hatiku bergolak, antara ya, tidak, ya, tidak, sekedar minta tolong.

"Kak Sandy." Tiada pilihan lain. Aku mendekatinya.

Sandy memutar tubuh. Mendongak hingga mata kami bersirobok. Walaupun kami kuliah satu jurusan, tapi baru kali ini dua pasang mata kami bersitatap.

"Fotoin aku berdiri di sini. Rumahnya harus kelihatan," perintahku sekenanya. "Kak Sandy foto dari depan sana ya!" Telunjukku mengacung pada halaman depan dengan wajah pongah.

Sandy menurut. Mungkin selain keturunan siput, dia juga penganut paham robot. Usai meraih ponselku, dia menuju ujung pelataran depan. Jaraknya sekitar 100 meter hanya demi meraih latar belakang rumah secara utuh.

Buru-buru aku melebarkan senyuman. Layaknya ABG action di depan kamera, tanpa lupa mengacungkan jari sarangheo. Menurut Ki Fotogenik, itu adalah karakteristik pose cantik, walaupun dari sisi manapun aku akan selalu tampil menawan, tsaaah... Sekian lama aku mematung di depan rumah adat ini, tapi kok enggak ada kata-kata hitungan dari Sandy?

"Su-dah?" teriakku.

Sandy menurunkan ponselku, kakinya berlari kecil mendekat, lalu mengulurkan kamera.

"Tadi kok enggak dihitung dulu?" tanyaku.

"Sandy! Delvy!" teriak Yoga dari tempat parkir mobil. Tampaknya pemandu tadi memindahkan posisi mobil dari halaman depan ke sisi rumah adat.

Sandy tidak merespon tanyaku, justru melesat ke mobil travel. Meninggalkan aku seorang diri dengan tanda tanya, Grrr

Jari-jariku pun bergegas membuka hasil fotonya. Rumahnya memang terlihat jelas, latar belakang foto sesuai dengan keinginanku. Tapi, ada yang aneh. Cepat-cepat aku zoom in. Mataku sampai mengerjap. Oh My God! Bukan karena mataku yang polos tanpa eyeliner. Tapi...

"Hei!" erangku pada Sandy. Dengan amarah yang memuncak, aku mengejar langkah Sandy. Ini pertama kalinya aku tampil buruk dalam sebuah foto. Selain... waktu kecil pernah Kakak fotoin aku ketika aku menangis, hidungku sampai terlihat sedatar wajah, tentu saja sudah aku bakar. Terus waktu SMP juga pernah ada foto candid ketika aku ngiler dalam bis perjalanan wisata, dan... eh, kok keterusan?! Oke, kembali ke Sandy.

"Kak Sandy!" omelku dengan suara ultrasonik, boom! Mataku membalalak sembari memuntahkan suara, "Foto apa ini?! Apa susahnya sih menghitung satu, dua, tiga dulu! Sudah lihat hasilnya belum?! Tahu enggak kalau bibirku MONYONG mirip monyet di kebun binatang?!" Aku pun menekan kata 'monyong'.

Krik... krik... krik...

Ups. Baru sadar, aku tidak membaca dahulu situasi sekitar sebelum menggulung amarah. Tidak hanya Sandy seorang yang berdiri di dekat mobil travel. Ada Bella, Yoga, dan Pemandu yang tengah menatapku. Mungkinkah mereka mengamati apa aku memang mirip dengan si monkey?

Oke. Ini adalah awal perkenalan yang memalukan sepanjang hidupku.

SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGWhere stories live. Discover now