BAB 4: Kopi Manggar

4 0 0
                                    


Langkahku berderap memasuki warung. Yang paling aku suka adalah dinding kiri kanan berhiaskan spanduk besar, ada gambar biji kopi. Ah, aku sangat tak sabar semuanya akan beradu dengan alat pengecap.

"Kopi manggar satu ya," pesanku kepada salah satu Pelayan. "Airnya sepertiga gelas biar kental, gula sedikit jadi kopi manggarnya terasa," tambahku yang mendapati anggukan Pelayan. "Oh ya, satu lagi, enggak pakai lama."

Warung ini memiliki bagian depan dan bagian belakang, yang hanya terpisahkan oleh dapur. Tinggi dinding dapurnya hanya satu meter. Setiap pengunjung dapat melirik bagaimana mereka mengolah pesanan. Pemandangan di bagian belakang jauh lebih menarik. Ada semacam danau buatan dengan air tenang.

Pemandu mengarahkan kami duduk di bagian belakang. Meja paling dekat dengan dinding dapur. Tentu saja karena posisi meja-kursinya tidak jauh dari colokan listrik. Eksis di media sosial itu wajib, Kakaaak!

"Suka kopi, ya?" tanya Yoga, yang ternyata sempat mendengar pesananku tadi. Dia memilih duduk di seberang Bella.

Aku mengangguk. Sejenak menikmati lekuk wajah menarik Yoga. Ah, sayang, statusnya unavailable. Kurebahkan tubuh, duduk seraya meluruskan kaos cokelatku. Aku mengais charger dari dalam tas, lalu menghubungkan listrik dari colokan ke ponsel. Siap memetik iri followerku melalui story liburan gratis di Belitung ini.

"Kopi itu katanya bisa melindungi kulit, menurunkan resiko kanker hati, bahkan bisa membakar lemak," jelasku antusias. Pandanganku beralih dari layar handphone ke Yoga.

Mata Bella membelalak seraya memiringkan tubuh, "Lemak? Lemak mana yang mau kamu bakar? Lihat bodimu, kurus kering..." Bella tak sanggup menandaskan kalimatnya. Telapak tangannya menghadap ke atas dan tertuju padaku.

Aku menoleh ke arah Bella yang duduk di sisi kiri. "Ini namanya langsing!" bantahku cepat.

"Kopi tidak baik karena kamu akan kencanduan," sambar Sandy tiba-tiba.

Gggrrr... Bola mataku berputar usai mendengar celetukan Sandy. Entah mengapa kalimatnya mampu meruntuhkan gunungan semangat liburan. Bagaikan gramat yang, boom! Meledak di tengah prajurit bersemangat '45. Usai memuntahkan kata sok suci, Sandy malah sibuk dengan telepon genggam.

Aku berdiri. "Dengar ya, Kak Sandy! Selama ini aku minum kopi dan nggak kencaduan kok," tandasku. Lalu duduk kembali sembari mendesah. Melirik atas meja yang masih kosong. Padahal lidah ini siap bergoyang dengan kopi. "Mbaaak, kopi manggar manaaa? Masih lamaaa?" teriakku sampai enam oktaf, sebentar lagi akan menandingi suara melengking Ariana Grande, sayangnya fales.

Akhirnya lima gelas minuman pesanan kami datang. Aku memamerkan gigiku seraya melihat segelas kopi yang uapnya mengepul. Kopinya sih terbuat dari kopi bubuk, tapi racikan tersendiri itu yang katanya membuat kopi manggar berbeda. Aromanya memikat. Jemariku langsung menyeduh di atas lepek, mengibaskannya dengan tangan, dan membiarkan bau sedap kopi menggoda alat bernapasku. Aku menyeruputnya. Ah... panasnya memang menyentak, tetapi rasa pahit, manis, dan asam jauh lebih merajai lidahku. Terbersit niat membungkus lima kilogram kopi manggar nanti.

"Enggak coba kopi manggar?" tanya Pemandu kepada Sandy. Dia duduk di antara aku dan Sandy.

Spontan aku melirik. Mengamati kalau Yoga dan Bella memilih pesanan minuman yang sama denganku. Sementara Sandy hanya memesan teh manis hangat. Enggak salah pesan nih?

Sandy menggeleng kuat sembari menarik resleting jaketnya hingga hampir menyentuh dagu.

Halooo! Ini bukan kutub yang super dinginlah.

"Jauh-jauh ke Belitung, harusnya coba kopi manggar," sambung Pemandu. Lebih tepatnya membujuk pelancong untuk mengenal kuliner setempat.

Sandy hanya menyunggingkan senyum. Sok pasang wajah manis tuh cowok. Dia memang makhluk aneh. Kalau di kampus sih enak, gedungnya luas, jadi bisa menghindari dia. Tapi pas di Belitung? terpaksa tiga hari ke depan, aku bakal bertatapan muka dengannya.

Aura hepiku kembali muncul tat kala aneka makanan laut datang. Mulai udang saos merah, cumi goreng tepung, ikan bakar, sampai sayuran kayak plecing. Dalam sekejap, aku siap menyikat semua sajian.

"Kok cuma makan ikan?" tanya Pemandu yang kayaknya punya radar kepo akut.

Aku tergelitik melirik. Sandy hanya makan nasi dan ikan tanpa bumbu bakarnya! Tidak mau menyentuh lauk pauk lainnya. Sungguh tidak enak memiliki teman kuliner seperti dia. Eh, tapi ada enaknya sih, aku jadi tidak memiliki saingan melahap semua makanan lezat di depan mata ini. Yummy... masa bodoh dengan pernyataan Bella yang bilang kalau aku kurus munafik, alias badan ceking tapi makan sebakul, cuih!

SENIOR DINGIN TUKANG GHOSTINGWhere stories live. Discover now