Berharap Namun Harus Ingat

267 27 3
                                    

📎📎📎

















...

Ruang tamu kantor Desa Cipitung kala itu hening, hanya untuk mendengar kalimat kalimat yang akan diutarakan oleh keempat pemuda pemudi itu.

Baik si Kepala Desa, maupun rekan rekan mereka. Semuanya kompak menatap ketiga Tuan dan satu Puan yang kini dalam keadaan baik, seperti yang mereka lihat sebelumnya.

"Any question, guys? Kenapa kalian kayak ngeliatin hantu? "

Pertanyaan dan pernyataan Genta adalah yang pertama mengudara. Dan membuat semuanya kompak menahan dan menghembuskan napas mereka.

"Lo-lo pada kemana? " Akhirnya, suara Dara yang memulai sesi tanya.

Tristan menguyup teh hangat yang disediakan untuk mereka. "Tadi kita kesesat. Terus di jalan, ketemu Teteh Teteh. Dia nunjukin jalan kesini. "

Hazel berdecak. "Ceritain yang jelas gitu. Runtut dari awal sampe akhir. "

Tristan mendelik. Dan itu cukup membuat mereka menghela napas lega, karna delikan khas Tristan pasti menunjukkan jika yang bersama mereka saat ini memang benar Tristan.

"Alhamdulillah, itu Tristan asli. " Gumam Damian.

"Mau ceritain dari mana? Kita kesesat, terus ketemu orang, diajakin makan di desa nya dulu abis itu udah dianterin kesini. Cuma gitu doang. " Jawab Genta.

"Desa? Desa apa? " Tanya si Kepala Desa.

Kei menggeleng. "Gak tau Pak. Yang jelas, kayaknya waktu itu lagi ada semacam pesta. Rame soalnya. "

Kepala Desa saling menatap dengan Dikdik. Tatapan itu juga ikut menjadi perhatian dari Frans. Dalam diamnya, pemuda itu membuat otaknya berpikir keras.

"Dari kota sampai kesini, gak ada Desa lagi. Cuma ini. "

Sontak gerakan melepas jaket yang dilakukan Agam terhenti. Menatap si Kepala Desa yang terang terangan memberikan kata katanya pada mereka.

"Gak ada desa lagi? "

Dikdik dan Kepala Desa mengangguk. Membuat Nadine yang duduk di belakang bersama Nora sontak mengusap lengannya. Perasaannya mendadak tidak enak.

"Serius, Pak? Saya sama tiga orang ini bener bener liat desa kok. Ada orang orangnya juga. Mereka beneran hidup, Pak. Kami juga makan disana. "

Lelaki yang paling tua diantara mereka itu melepas penutup kepalanya, membiarkan rambut yang sudah memutih itu terlihat. Juga kerutan di wajah, sangat menjabarkan jika usia pria itu tidaklah muda lagi.

Kata orang, semakin tua usia seseorang, semakin banyak pula pengalaman yang dia alami. Dan sepertinya, kalimat itu juga berlaku untuk si Kepala Desa.

"Kalian makan disana? "

Keempatnya mengangguk. Helaan napas si pria membuat mereka malah menahan napas. Memperhatikan raut apa yang terpintas di wajah yang penuh dengan kerutan alami itu.

"Maaf, tapi kalian semua beragama? Maksud saya, kalian semua menganut kepercayaan tertentu? "

Mereka, mengangguk lagi.

b e s t a r iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang