Jangan Dulu Dihalangi

257 26 5
                                    

📎📎📎

















...

Hari kini telah berganti. Bagi sebagian dari mereka, kemarin adalah hari yang tidak mungkin dilupakan. Hari dimana seluruh hati mereka kalut, mencari dan menanti. Karena itu adalah pertama kalinya bagi mereka, mendapat keadaan yang buruk dan membuat resah sekaligus. Dan jangan salahkan, jika setelah itu muncul sedikit rasa trauma.

"Perbannya basah njir!! Lo ngapain aja sih?! " Tristan mendengus, berkacak pinggang.

Pemuda dengan celana selutut, kaos oblong putih, dan sebuah kain tersampir di bahu tegapnya. Keringat pun terlihat di dahi pemuda jangkung itu. "Duh, nyusahin sumpah Ga!! "

"Berisik!! "

Shaga bangkit perlahan. Ingin membawa peralatan yang sejak kemarin mendadak seperti menjadi hak miliknya. Tentu saja karena luka yang dialaminya. Tapi belum sempat kakinya melangkah, Tristan sudsh lebih dulu menjangkau barang itu. Memberikannya pada Shaga, meskipun wajahnya masih menatap sang Ketua tajam.

Shaga tersenyum tipis. Lelaki itu membuka perban yang melilit di kakinya. Menggantinya dengan yang baru karena yang sebelumnya basah. Pergerakannya jadi terbatas karena ini. Walau kakinya tidak sesakit kemarin, tapi tetap saja dia sulit untuk bergerak.

"Diem lo pada disini. Jangan mundar mandir, gue mau ngepel. " Wista datang dengan sebuah kain dan ember.

Wista mendorong tubuh Tristan yang menghalangi pergerakannya. Hingga si empunya tidak terima dan memberontak. "Gua mau ke dapur Wis!! "

Tristan berlalu dengan menghentakkan kakinya. Meninggalkan Wista yang langsung meneruskan tugasnya. Dan Shaga yang masih membereskan alat kesehatan yang menjadi hak miliknya itu.

"Si Tristan kayak yang PMS. "

Wista yang berjongkok di bawah untuk mengepel lantai pun terkekeh. "Tau, sensian mulu. Gegara lo ngeyel tuh, Bang. "

"Kok jadi gue? " Saut Shaga.

"Marah dia, lo gak mau denger. Lagian sih, sok banget nahan nahan sakit begitu. Ngerasa keren ya lu? "

Shaga menghela napasnya. Dengan jalannya yang perlahan, dia menyimpan kembali kotak alat kesehatan yang mengobati lukanya itu. Tangannya bergerak mengambil satu potong kue bolu yang mereka terima tadi pagi. Pagi pagi buta, ada salah satu warga yang mengirim satu loyang kue bolu hangat.

Begitu pula dengan rumah yang berada di depan rumah singgah mereka. Para perempuan juga mendapatkan kue bolu itu. Mereka benar benar diterima seperti keluarga sendiri.

"Kalo gue bilang sakit, apa sekarang kita udah bisa ketemu mereka bertiga? "

Wista mendongak dan menghentikan aktivitasnya. Shaga tersenyum tipis. Meminum segelas susu hangat yang baru dia buat setelah memakan kue bolu tadi. Sang Ketua itu duduk di kursi dekat pintu. Memandang keluar, entah memandang apa.

"Kalo gue bilang kaki gue luka, apa gak tambah parah keadaan kita? "

Wista menggeleng. "Enggak bakal. Justru kalo lo bilang, kakinya bakal disembuhin lebih cepet. "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

b e s t a r iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang