NEVER TOO LATE

1.6K 206 11
                                    

Sabtu pagi, semua orang kecuali Ayah sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Freen yg biasanya bangun siang pun tampak sudah rapih dan wangi.



Rose mengamati Freen yg dengan seenaknya menjejalkan segala macam hal di meja makan- selada, tomat, mayones, telur, saus tomat- ke dalam rotinya. Setelah pembicaraan nya dengan Becca kemarin, Rose merasakan sesuatu terhadap Freen, entah apa. Sepertinya Rose merasa Freen memang sedang membutuhkan pertolongan, tapi Rose tak tahu harus berbuat apa. Freen lah yg dulu selalu membantunya.



Freen dapat merasakan tatapan Rose. Jadi, Freen balas menatapnya, mengira Rose jijik terhadap racikan roti isinya, lalu menggigit roti itu dengan buas. Becca terkikik melihat kelakuan Freen.



Tak lama kemudian, Ayah keluar dari kamar dan bergabung ke meja makan. Ayah keheranan melihat Freen yg biasanya masih tergeletak di sofa, sekarang sudah berdiri dengan pakaian lengkap.


"Mau kemana kamu?" tanya Ayah.


Freen menatap Ayah sebentar, salah tingkah.


"Hm...keluar." jawab Freen tak jelas.


"Kamu fikir aku bodoh ya?" sahut Ayah dengan nada tinggi, membuat kegiatan di ruang makan terhenti. Mendadak, semua orang merasa tegang.


Freen menatap Ayah tajam. Freen tidak bisa mengatakan padanya bahwa dia akan berangkat kerja paruh waktu untuk menambah biaya kuliah penerbangannya nanti. Ini sebuah kejutan, dan tidak akan mengejutkan jika diberitahu sekarang.


"Kamu ini bisanya hanya main," komentar Ayah, tapi sudah lebih tenang. Dia duduk di kursi makan.


"Berkelahi, pulang babak belur, bikin malu keluarga saja,"


Freen terdiam menahan semua emosinya. Roti isinya seperti menyangkut di tenggorokan. Dia dapat merasakan tangan dingin Becca menggenggam tangannya.


"Mau jadi apa kamu ini?" tanya Ayah lagi, sementara semua orang masih bergeming.


"Jangan-jangan selama ini kamu narkoba juga, ya?"


Freen merasa darahnya menggelegak dan naik ke kepalanya. Dia sudah tak tahan lagi. Tapi tangan Becca membantunya untuk tetap tenang.


"Aku kerja," sahut Freen tegas.


Reaksi Ayah begitu keras. Mata dan mulutnya melebar. Freen menatap nya gentar. Tak berapa lama, Ayah malah tertawa terbahak-bahak.


"Kerja? Kamu? Bisa apa kamu?" sahutnya sinis.


"Apa saja, bengkel, restoran, cafe, dimana saja." balas Freen mantap.


Mendengar jawaban Freen, Ayah terdiam sebentar. Dia lalu memukul meja keras-keras, membuat semua orang berjengit di tempat masing-masing.


"Kamu mengejek aku, ya? Kamu fikir aku sudah tidak mampu membiayai kamu? Kamu meremehkanku?" sahut Ayah dengan suara menggelegar.


Freen tak menjawab. Dia tahu bahwa tak ada yg harus dijawab.


"Memang kamu anak kurang ajar!" sahut Ayah lagi. Sekarang dia sudah bangkit. Rotinya dibuang begitu saja.


Freen sendiri sudah siap menerima apapun darinya. Tapi, Ayah tak memukul ataupun menampar. Dia malah pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.


"Tidak tahu kamu mau jadi apa, aku sudah pasrah," gumamnya sambil meninggalkan meja makan menuju gazebo.


Freen sempat berfikir untuk melupakan semua cita-citanya. Tapi kalau dia melakukannya, tak akan ada satu pun perubahan pada dirinya. Dan Freen tak mau itu terjadi.


THAT SUMMER BREEZE (END)Where stories live. Discover now