8

2.3K 239 1
                                    

Marem melajukan motornya memasuki gerbang mansion keluarga Damelos, memarkirkan motornya kemudian berjalan cepat menuju pintu masuk.

Wajahnya sekarang sungguh tidak bersahabat, sepanjang derap langkah rahangnya mengernyit dengan urat-urat di tangan yang bermunculan.

Sebelumnya dia marah dan jengkel sekarang dia marah besar. Dibukanya pintu kediaman dengan keras membuat orang-orang di dalam terusik.

" Bisakah kau masuk dengan tenang " marah anak ke dua Damelos, Seven Jaferen Damelos.

" Mana Gyel " Tanyanya lantang tanpa memperdulikan tatapan tidak suka keluarganya.

" Istirahat " Danuar Romey Damelos, kepala keluarga Damelos menjawab anak ketiganya dengan cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.

" Apa lagi sekarang, si sialan itu selalu mencari masalah "

" Deddy mu telah memberikan pelajaran, jika kau mencarinya dia ada di kamarnya " Tiara Amelia Damelos, nyonya Damelos itu meletakkan majalahnya di meja, Dia berucap dengan marah saat mengingat anak kesayangannya di sakiti.

Marem pergi begitu saja menaiki tangga, tujuannya adalah kamar paling ujung di lantai dua.

" Ck, apakah suasana rumah ini bisa sedikit lebih tenang " Gavelo Agra Damelos beranjak dari tempatnaya, si sulung yang suka ketenangan itu sangat jengkel dengan kebisingan jenis apapun.

Kembali ke Marem yang sekarang berada di ambang pintu, seperti biasa dibukanya pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara nyaring.

Marem menelisik sekeliling tidak menemukan yang ia cari hanya kamar yang berantakan seperti tertimpa gempa. Dengan barang-barang yang berserakan dan pecah di mana-mana. Hingga sepasang bola matanya menemukan sosok seseorang berdiri di balkon kamar.

Seorang anak dengan tubuh mungil menikmati semilir angin malam, tidak peduli hawa dingin yang menusuk kulit.

Tanpa aba-aba satu bogem mentah mendarat di pipinya membuatnya sedikit oleng dan hampir terjatuh jika tidak berpegang pada pagar pembatas di balkon kamarnya.

Rasa nyilu menjalar di wajahnya di tambah dengan rasa asin di mulutnya.

Angin malam kembali berhembus ke arahnya membuatnya menoleh dan menikmati hembusan itu tanpa memperdulikan orang yang berdiri didepannya.

Marem naik pitam dan mencengkeram keras baju Akey memperkecil jarak mereka.

" Hay, bisakah kau diam seperti tikus mati "

" Jangan mengganggu dan jangan bersuara bila perlu sekalian jangan bernapas "

" Jangan terlihat, bukankah keluarga ini cukup baik menampung mu "

Marem berusaha mengintimidasi Akey namun anak itu hanya menikmati hembusan angin yang datang.

Merasa tindakannya tidak berhasil Marem membanting Akey hingga mengenai pagar dengan keras hingga terduduk.

Tidak sampai di situ ia kembali di hadiah tendangan keras bertubi-tubi, yang bisa di lakukannya hanya melindungi bagian tubuh yang vital dan wajahnya tentu saja.

Setelah puas Marem menghentikan aksinya, menjadikan Akey sebagai samsak  pelampiasan emosi.

Sebelum ia beranjak Akey kembali memancing emosinya.

" Bodoh " ucapnya tanpa report melihat lawan bicaranya.

Marem mencengkeram rahang Akey kuat, terlihatlah wajah dengan banyak luka lebam dan beberapa goresan yang mengeluarkan darah. Tidak  ada rasa iba maupun kasihan malah tangan itu kembali menguatkan cengkeramannya.

Di lain sisi tidak ada wajah ketakutan maupun kesakitan hanya tatapan kosong.

" Apa untungnya jika aku akan di pukuli dan terluka kecuali aku gila "

" Ya kau gila "

" Hm kau benar aku lupa bagaimana membuat ekspresi takut "

Marem melepaskan  cengkeramannya kasar, entah kenapa tangannya reflek melakukan itu. Sekarang dia benar-benar tidak suka melihat wajah Akey bukan karena terlalu kesal ataupun iba hanya reflek yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.

" Menyedihkan " perkataan itu terlontar membuat Akey tersenyum samar.

" Ck, jadi teringat bocah bernama Geyo itu, benar-benar anak yang menjengkelkan di tambah anak sialan ini sungguh hari yang tidak beruntung " ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan kamar berantakan itu.

Semua penghuni mansion ini seperti aktor, memiliki kepribadian yang berbeda saat di luar dan di dalam mansion. Marem yang minim ngomong jadi banyak bacot saat di rumah, begitupun anggota keluarga lainnya yang memiliki sifat aneh mereka masing-masing.

Akey serasa ingin berterima kasih saat marem kembali menutup pintu kamarnya. Dia sangat malas, bahkan bangkit dari duduknya saja enggan.

Akey melihat wajah menyedihkannya di pintu kaca balkon. Entah apakah luka-luka di wajahnya bisa di tutupi atau tidak. Karena ia malas menjawab pertanyaan orang-orang tentang asal semua lukanya.

Kenapa para human itu tidak mematahkan rusuknya saja daripada melukai wajah.

Apa mereka tidak berpikir reputasi mereka akan jatuh saat salah satu anak keluarga itu terlihat menyedihkan, emang udah pada sinting semua.

Akey kembali menelisik wajahnya di cermin kemudian balik menatap langit malam yabg penuh bintang.

" Jika orang yang telah tiada menjadi bintang_ maka apakah kalian melihatnya "

" Semua kegilaan ini "

" Jika kalian benar-benar jadi bintang maka lihatlah bunga yang kalian jaga menjadi bangkai yang busuk dan menjijikakan. Aku bahkan tidak lagi menganggapnya bunga dan tidak pantas menjadi bunga. "

" Lihatlah bunga satunya yang telah patah, aku bahkan tidak tahu dia akan bercabang lagi atau mati "

" Terlalu banyak cinta kadang membuat bodoh atau lemah "

" Bisakah kalian beri aku tempat pulang, bahkan kamarku sendiri tidak cukup aman "

Akey memejamkan matanya sudah, cukup puas melihat betapa kacau dirinya sendiri. Kembali menanti hembusan angin malam yang dingin.

Matanya masih terpejam dengan cairan bening mengalir di pipinya melewati beberapa luka yang membuatnya menjadi merah.

Tidak ada isakkan bahkan gerakan kecil untuk sesaat membuatnya seperti manekin yang menangisi darah.

" Apa yang kau inginkan " gumamnya setelah tidak ada lagi cairan bening yang keluar menyisakan bekas air mata yang tercap jelas.

Akey mengarahkan pandangannya pada pohon rindang di taman rumah itu. Ia tidak ingin melihat cermin maupun langit berbintang. Hanya bayangan pohon yang tampak indah di matanya.

" Apakah aku bisa_ setidaknya jika hanya berharap "

Akey memasuki kamarnya yang berantakan, tidak peduli dengan pecahan kaca yang berserakan atau mungkin tidak sadar. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk menurutnya.

Memejamkan mata untuk pergi ke dunia mimpi yang sayangnya tidak pernah memberinya sebuah mimpi, hanya pengulangan kenangan dari awal kisah sedih ini.

Sebelum sepenuhnya terlelap entah kenapa satu nama terlintas di pikirannya. Seseorang yang menunggu jawabannya antara teman atau lawan.

" Bisakah aku memilih teman " ucapnya sebelum benar-benar masuk ke alam penderita lain.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Minta vode😤

Tapi gak maksa 🙂

And maaf tadi kepencet

Kaem suka nulis yang ini semoga kalian juga suka☺️

Sampai jumpa di hari-hari berikutnya 🤣

Dadah~~~

Figuran Adu DombaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora