Part 25: Tamu Tengah Malam

483 78 19
                                    

Suara ketukan pintu semakin terdengar keras, disertai dengan panggilan si pemilik rumah. Singto mengernyit heran, siapa gerangan yang menggedor pintunya pada tengah malam?

Betapa terkejutnya Singto saat tau yang berada di depan pintunya adalah Arthit, akan tetapi bukan itu fokusnya, melainkan Arthit yang datang dalam keadaan mabuk. Keadaannya terlihat buruk, mata yang sayu, rambut yang acak berantakan dan mulut yang tidak hentinya merancau.

"Dimana anakku?" Tanyanya pada Singto.

Singto melihat keluar dan hanya menemukan Arthit, "Astaga, kau menyetir dalam keadaan mabuk?"

"Dimana Leonardku? Aku ingin bertemu dengannya." Arthit menerobos masuk rumah Singto tanpa permisi.

"Arthit, tunggu."

Arthit tidak menghiraukan perkataan Singto, ia langsung berjalan menaiki tangga. Jalannya sempoyongan, beberapa kali hampir jatuh kalau saja ia tidak berpegangan.

"Lebih baik kau pulang saja, kalau kondisimu sudah membaik, kau boleh datang lagi," ujar Singto.

Lagi, Arthit tak menghiraukan perkataan Singto, ia menganggap hanya angin lalu. Kakinya terus melangkah meski terasa berat dan kepalanya terasa berputar. Akibat tak bisa menahan beban tubuhnya, Arthit hampir terguling. Beruntung, Singto dengan sigap menahan di belakang Arthit.

"Kau baik-baik saja?"

Tak banyak kata lagi, Singto membopong tubuh Arthit dan membawanya masuk ke kamar Singto. Tidak mungkin ia membawanya ke kamar Leon dengan keadaan Arthit yang seperti ini.

"Kau mau membawaku kemana? Aku ingin bertemu Leonard."

Setelah itu Singto merebahkan tubuh Arthit ke ranjang miliknya. Pria manis itu masih merancau tidak jelas dengan mata yang terpejam. Singto menghela nafas kasar, ia tidak habis pikir bagaimana Arthit bisa ke rumahnya dengan keadaan seberantakan ini.

Ia tau, pasti banyak sekali yang dipikirkan oleh Arthit, mengingat Leon yang menolak untuk menjadi anaknya. Namun, mengemudi dalam keadaan mabuk justru akan membahayakan dirinya sendiri. Katakan Arthit tak peduli pada dirinya, akan tetap Singto sangat mempedulikannya. Baginya, Arthit, Leon dan Nora adalah satu, belahan jiwanya.

"Kenapa kau membawanya pergi?" Gumam Arthit.

Singto yang berjongkok di samping tempat tidur untuk melepaskan sepatu Arthit pun mendongak. Ia hanya menatap Arthit tanpa menjawab pertanyaannya. Percuma, Arthit sedang tidak sadarkan diri, esok juga akan melupakannya kalau Singto menjelaskan saat ini.

Tiba-tiba Arthit terbangun dan menjambak rambut Singto dengan kasar, sehingga membuat sang empunya rambut mengadu kesakitan. Semakin keras teriakan Singto, semakin kasar pula tangan Arthit mencengkram rambutnya.

"Kau yang mengambil anakku, aku tidak akan mengampunimu!"

"Aaakhhh baiklah, tapi lepaskan rambutku."

Arthit menarik dengan kecang hingga membuat Singto mendongak, kemudian mendekatkan wajahnya pada Singto, "Wajahmu jelek, kau bukan ayahnya Leonard."

"Ya ya terserah kau aakhhhh. Lepaskan, Arthit."

Arthit pun perlahan melepaskan genggamannya, hingga membuat Singto bernafas lega. Namun, belum sampai lama, tiba-tiba Arthit memuntahkan isi perutnya hingga terkena baju Singto dan bajunya sendiri.

"Sial!" Umpat Singto.

Ia langsung bergegas membersihkan dirinya dan meninggalkan Arthit yang sedang terlelap. Untung saja pria itu adalah Krist, jika bukan, maka Singto akan membunuhnya ketika tidur. Sangat menjengkelkan.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now