08. Amerta

28 9 0
                                    

08. Amerta

"Nangis memang wajar, tapi yang engga wajar nangisin orang yang kurang ajar"

DE-PRESS-ED

Delora dan Kalila baru saja selesai menghabisi bekal yang mereka bawa. Masih ada sekitar dua puluh menit lagi sebelum diperbolehkan pulang.

"Masih sakit kepalanya?" tanya Kalila, dia merapikan tempat makan dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Engga," jawab Delora. Dia menyandarkan badannya pada dinding di sebelahnya.

"Pulang ke rumah gue lagi ya, Ra?" pinta Kalila, siapa yang akan merawat sahabatnya jika dia pulang ke rumah bagai neraka itu.

"Engga bisa, gue pagi ditelepon suruh pulang," jawab Delora pelan, matanya terlihat sayup.

Kalila menghela nafas, dia juga tidak bisa berbuat lebih jauh lagi. Tangannya mengusap bahu sahabatnya itu. Betapa lelahnya bahu itu. Kalila kadang merasa hidupnya berat, tapi Delora jauh lebih berat darinya. Dia masih memiliki sang bunda, tetapi Delora tidak memiliki siapapun.

"Berat banget ya, Ra, jalanin hidup ini?" tanya Kalila pelan, sebelah tangannya mengepal.

Delora mengangguk lemah sambil tersenyum tipis. Mata sayunya semakin memancarkan betapa lelahnya tubuh itu. Masalah tanpa henti menghadangnya, tidak memberi jeda untuk sekedar bernafas dengan tenang.

Dalam setiap doanya, Kalila selalu meminta agar hidup Delora bisa bahagia. Kesedihan yang terbendung di hati sahabatnya itu suatu saat menghilang. Dia ingin melihat Delora tersenyum bahagia. Menjalani hidup dengan bahagia. Walau hidup tidak mungkin selamanya bahagia, tapi paling tidak level kesulitannya berkurang.

"Kalo ada apa-apa cerita sama gue, jangan nangis sendirian. Gue pengen meluk lo saat lo sedih, gue pengen ada disamping lo saat lo sedih," kata Kalila, dia merasa sesak di dadanya. Bagaimana jika dirinya di posisi Delora dan membendung semuanya sendirian?

Delora mengangguk pelan, "Iya, La."

"Gue mau ke kantin, mau nitip beli sesuatu?" tanya Kalila, dia mengambil ponselnya dari kolong meja.

"Engga," gumam Delora.

"Ya udah bentar ya, jangan kemana-mana. Tidur aja, nanti gue bangunin kalo jam pulang," Kalila bangkit berdiri dan membalikkan badannya.

Tetapi Kalila enggan pergi, dia kembali membalikkan badan melihat kondisi Delora. Apa tidak apa-apa ditinggalkan sendiri? Tapi setidaknya di kelas sedang ramai.

"Gue engga apa-apa, pergi aja," ujar Delora meyakinkan.

Gadis itu hanya merasa lemas, rasa sakit kepalanya sudah hilang. Sisa tubuhnya saja tidak bertenaga.

Kalila melangkah pergi, dia berhenti ketika melihat temannya di depan kelas.

"Ca, gue titip Delora. Kalo ada apa-apa kabarin, kalo dia keluar kelas juga kabarin. Tolong banget nih, bisa 'kan?" pinta Kalila, setidaknya ada yang mengawasi sahabatnya itu.

"Oke tenang aja, gue liatin," jawab perempuan bernama Caca itu.

"Makasih banget," balas Kalila dan pamit pergi.

Kalila menyembunyikan kejadian saat di lapangan tadi, jika Delora tau pasti akan marah besar. Dia menghela nafas panjang, dia akan bertemu dengan Raja untuk menyelesaikan semuanya. Untuk apa dia menangis seseorang seperti itu.

Raja mengirimnya pesan meminta untuk menemuinya, jika Kalila terus mengelak masalah ini tidak akan selesai. Walau ada rasa takut pada dirinya, dia harus menghentikan hubungannya.

DEPRESSED [NEW] Место, где живут истории. Откройте их для себя