16. Ambivalence

27 7 0
                                    

16. Ambivalence

"Runtuh, redup, tumbuh dan hidup"

DE-PRESS-ED

Prit ...

Suara peluit yang ditunggu-tunggu akhirnya terdengar, siswa-siswi kelas XI IPS 2 itu berhenti berlari. Mereka dihukum karena datang terlambat ke lapangan.

"Kumpul di sini," seru Pak Praja selaku guru olahraga.

Siswa-siswi yang kelelahan mulai berjalan mendekati Pak Praja dan duduk di lapangan sambil mengatur deru nafas, serta keringat bercucuran di dahi mereka.

"Minggu depan, jangan sampai terlambat lagi datang ke lapangan seperti hari ini mengerti?" tanya Pak Praja seraya menatap seluruh muridnya.

"MENGERTI"

"Ngerti banget, Pak"

"Kalian boleh istirahat," seru Pak Praja dan berjalan pergi meninggalkan lapangan.

"Huwa capek banget," keluh Kalila, dia meluruskan kakinya sambil mengibaskan wajahnya dengan telapak tangannya. Keringat bercucuran, rambut bagian depannya pun lepek karena basah.

Teman-temannya pun sama merasa kelelahan karena berlari 5 putaran lapangan, jangan ditanya seluas apa lapangan itu yang membuat kaki para penghuni kelas XI IPS 2 terasa keram.

"Gara-gara perempuannya sih, lama ganti bajunya," seru anak laki-laki yang merebahkan badannya di atas lapangan.

"Loh kok jadi kita? Laki-lakinya juga salah, malah mabar di kelas," timpal perempuan berambut pendek yang sedang mengipasi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Iya sih hu ...," sorak perempuan di sebelahnya.

Kalila mengabaikannya, dia memukul-mukul pelan kakinya yang pegal.

"Ra, kaki lo lurusin jangan ditekuk," suruh Kalila melihat Delora di sampingnya yang duduk sambil menekuk lututnya.

Delora menoleh, pelipisnya penuh dengan keringat dan badannya pun lemas. Dia menekuk kakinya untuk menutupi lengan kirinya yang memegangi bagian kiri perutnya yang sakit. Bagian belakang kakinya juga sakit karena sepatunya yang kekecilan, sepertinya kakinya berdarah karena selama berlari dia menahan sakit pada kakinya.

"Gue pengen gini," balas Delora, dia masih mengatur deru nafasnya yang tidak beraturan. Kakinya sangat terasa keram dan sakit.

"Nanti sakit loh kakinya," ujar Kalila memperingati. Dia melepaskan ikat rambutnya yang sudah kendur dan mengikat ulang rambutnya.

Delora tidak membalasnya, dia merasa kesakitan pada perutnya. Rambutnya pun berantakan, dia tidak mengikatnya saat berlari. Dia tidak begitu suka rambutnya diikat ketika di luar rumah.

Panas matahari menyentuh kulitnya, matahari itu belum terik karena masih jam sepuluh pagi. Gadis itu merasa gerah, tangannya bergerak menggelung rambutnya dan menyelipkan di sela rambutnya. Beberapa anak rambut bagian depannya tidak terikat karena pendek.

Satu per satu teman-teman sekelasnya mulai pergi ke kantin karena sudah jam istirahat.

"Kantin yu, Ra?" ajak Kalila, dia mulai berdiri secara perlahan. Dia merasa sangat haus.

Delora diam, dia mengingat sisa uang sakunya.

"Gue balik ke kelas aja," jawab Delora sambil menarik tangan kirinya yang memegangi perutnya. Matanya melirik ke arah kakinya, kaus kaki bagian belakangnya terlihat ada noda darah.

"Ih, kenapa? Ayo kita ke kantin, dikasih uang jajan lebih dari Bunda. Katanya bayaran udah bantuin beliin belanjaan kemarin, uangnya berdua sama lo. Ayo ah, ke kantin sama gue," Kalila menarik Delora untuk berdiri.

DEPRESSED [NEW] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang