🌲 Sisi Satu

201 34 3
                                    

Tak seperti pantai-pantai lainnya yang ada di Gunung Kidul, Pantai Watulawang memang belum begitu terkenal sehingga pengunjung yang datang tak begitu banyak, apalagi di hari kerja seperti sekarang. Pantai tersebut nyaris seperti pantai pribadi jika tak ada warung-warung yang berdiri di pinggir pantai menyajikan berbagai jajanan.

Konon pantai ini dikenal sebagai tempat ritual dan menjadi lokasi upacara Nyadran, yaitu sebuah tradisi masyarakat Jawa untuk menghormati para leluhur yang telah tiada dengan cara mendoakannya. Tradisi ini juga bertujuan untuk mengingatkan kita tentang kematian—bahwa setiap yang hidup akan mati—sebagai sarana untuk melestarikan budaya gotong royong sekaligus upaya untuk menjaga keharmonisan masyarakat melalui kegiatan kembul bujono.

Upacara Nyadran selalu dilaksanakan setiap tahun secara turun temurun dan sudah ada sejak jaman hindu-budha, begitu kata ibu warung saat bercerita pada Tristan yang sedang menikmati kelapa segar di warungnya.

“Saya jadi penasaran Bu pengen lihat upacaranya.”

Ibu warung tersenyum. “Cuma doa bareng, ngaji bareng, dzikir bareng sama arak-arakan tok Mas.”

“Nah, itu Bu saya penasaran sama arak-arakannya.”

Tristan lanjut mengobrol dengan ibu warung hingga obrolan mereka terhenti ketika Livi datang untuk memesan es kelapa.

“Mau di kelapanya langsung apa di gelas Mbak?”

“Di kelapanya langsung Bu.”

Si ibu mengangguk dan mengambil satu kelapa utuh lalu mengupas bagian atasnya. Sementara Livi menunggu sambil berdiri canggung, memalingkan wajah ke arah laut agar tatapannya tak bersirobok dengan Tristan.

“Duduk Li,” ujar Tristan membuat perempuan itu menoleh pelan.

“Nggak usah.” Ia menggeleng kecil.

Ada bangku panjang di depan warung itu yang cukup untuk duduk empat orang, tapi Tristan duduk agak ketengah sehingga jika Livi duduk maka jarak mereka akan terlalu dekat.

Pinten Bu?” tanya Livi setelah kelapanya sudah jadi.

“Sepuluh ewu mbak.”

Livi menyerahkan selembar uang 100 ribu, tapi ibu itu menolaknya lantaran tidak ada kembalian.

“Satuin sama punya saya aja Bu.” Tristan berdiri lalu menyerahkan uang 20 ribu.

“Makasih,” ujar Livi pelan. Tak mengira dia akan mendapat bantuan Tristan lagi. “Nanti aku ganti.”

“Nggak usah.”

Livi salah tingkah. Dia jarang merasa secanggung ini dengan seseorang. Tristan adalah satu-satunya. Entah karena mereka putus secara tidak baik-baik, atau karena Livi baru pertama kali bertegur sapa dengan seorang mantan kekasih sebab Livi adalah tipe yang tidak akan mau berinteraksi kembali dengan orang yang sudah ia lebeli mantan.

“Aku ke sana dulu kalau gitu.” Livi pamit. Ia berjalan menuju saung-saung dari bambu yang berdiri di sepanjang pantai, lantas duduk di salah satu saung milik ibu warung tadi.

Bajunya masih basah, tapi ia tak peduli dan tetap duduk sambil memakan es kelapa.

Berkat interaksi kecil dengan Tristan barusan ingatannya tentang kisah masa lalu kembali terbuka. Padahal selama ini Livi selalu menutupnya baik-baik karena ia tak suka tenggelam dalam kenangan, tapi untuk kali ini sepertinya ia tak bisa mengelak. Otaknya sudah penuh dengan sosok Tristan.

Kalau tidak salah ... tidak, Livi yakin ia tidak salah. Waktu itu bulan Desember sama seperti sekarang. Mereka baru selesai mengikuti pra pendidikan dasar selama tiga hari. Teman-temannya mulai pamit pulang kampung, beda dengan Livi yang memang masih tinggal di Semarang. Lalu Tristan tiba-tiba mengajaknya main. Katanya liburan terakhir sebelum pulang kampung.

Segi Delapan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang