🌲 Malang

167 34 0
                                    

Berada di ketinggian antara 440 hingga 667 MDPL, kota Malang menghadirkan suasana yang cukup sejuk dengan suhu rata-rata 25 derajat celsius. Hujan yang turun sejak pagi membuat kota itu lebih dingin dari biasanya. Suhu turun menjadi 23 derajat. Jalanan basah, awan mendung masih menggantung di atas sana meski hujan sudah berhenti.

Rombongan Anjani berhenti di depan sebuah warung makan. Duduk berhadap-hadapan sambil menyantap orem-orem—salah satu makanan khas Malang yang terdiri dari ketupat, tempe, taoge, lengkap dengan kecambah rebus dan berkuah santan. Rasanya hampir sama seperti lodeh. Zaman dulu orem-orem tak bisa dinikmati setiap hari dan hanya disajikan saat hajatan atau pernikahan. Namun kini orem-orem banyak dijual di warung-warung makan dengan harga murah. Orem-orem juga memiliki arti kesederhanaan dan ungkapan syukur dalam hidup. Pembuatan orem-orem di Malang cukup khas karena masih menggunakan arang. Sehingga menciptakan aroma yang lebih sedap dan membuat bumbu meresap sempurna.

Setelah perut kenyang, mereka pergi ke penginapan milik salah satu kenalan Yuskhaf. Sebenarnya semua jadwal di Malang diatur oleh Yuskhaf termasuk penginapan dan tur jeep yang akan mereka ikuti. Yuskhaf punya banyak kenalan di sini.

“Kita istirahat dulu aja nanti Pak Karyo bakal jemput kita sekitar jam satu,” tutur Yuskhaf setelah ia mengurus kamar yang akan mereka tempati.

Teman-temannya mengangguk lalu masuk ke dalam kamar masing-masing. Kali ini Anjani berbagi kamar dengan Sora, Rosie dengan Livi sementara para cowok masih sama seperti sebelumnya.

“Capek banget,” keluh Anjani. “Padahal cuma duduk doang di mobil.” Ia cuci kaki lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Walau tak sebesar kemarin, penginapan kali ini cukup nyaman dan bersih.

“Akhirnya nanti kita ke Bromo, aku udah gak sabar banget. Dari dulu pengen ke sana tapi belum sempet.” Senyumnya lebar saat menatap langit-langit kamar. Kakinya menggantung di ranjang, kedua tangannya terlentang.

“Ji kamu—” Anjani hendak menanyakan sesuatu, tapi kaget saat melihat Sora berlari ke kamar mandi, setelah itu Anjani mendengar Sora muntah-muntah. Seketika Anjani panik.

“Ji kamu kenapa?” tanyanya sambil berdiri di depan pintu kamar mandi.

Sora tak menjawab. Napasnya menderu, rasa mualnya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya ia sudah merasa mual sejak di warung makan tadi, tapi ia masih bisa menahannya walau tak mampu menghabiskan makanannya.

“Ji?” Anjani membuka pintu kamar mandi yang tak dikunci dan menemukan Sora yang tampak kacau, wajahnya sangat pucat.

Are you okay?”

Sora menggeleng. Kepalanya tiba-tiba pusing lalu ia kembali muntah.

“Tunggu bentar.”

Dengan panik Anjani keluar kamar dan pergi memanggil Tara. Anjani sangat payah dalam merawat orang sakit.

“Ter!” Ia menggedor-gedor kamar Tara tak sabaran.

“Kenapa Jen?” Tristan membuka pintu dan bingung melihat Anjani.

“Itu ... Jipang muntah-muntah.”

“Hah?” Tara muncul. Sepertinya dia sedang membongkar barang-barang dan bersiap untuk mandi.

“Jipang.”

Anjani membawa mereka menuju kamarnya. Sora masih berada di kamar mandi. Berjongkok sambil memegangi rambutnya.

“Ji, kamu gapapa?” tanya Tara.

Sora berdiri. Matanya berair. Ia menutup mulutnya dengan handuk. Ia tak menjawab apa-apa. Kakinya melangkah pelan menuju tempat tidur, Tara mengawasinya dari samping.

Segi Delapan [END]Where stories live. Discover now