🌲 Sisi Delapan

269 40 6
                                    

Pagi-pagi Tara sudah pergi jalan-jalan sendirian di The Onsen Garden. Ia menghirup udara segar khas pegunungan yang tak bisa ia dapatkan di Jakarta. Nuansa hijau di sekelilingnya membawa perasaan tenang dan menyejukkan. Matahari belum tampak, hanya seberkas sinar di ufuk timur.

Tara diam memandangi pegunungan di sekelilingnya. Alasan mengapa dulu ia daftar ke Mapala karena dia ingin naik gunung, ingin merasakan bagaimana berdiri puncak gunung. Sesederhana itu memang. Siapa sangka justru ia malah dipilih menjadi ketua.

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan menemukan sosok Anjani sedang berjalan sambil memeluk diri, mengusir hawa dingin yang menggelitik kulit.

“Kamu ngapain pagi-pagi bengong di sini?” tanya Anjani. Ia berdiri di sebelah Tara.

“Jalan-jalan. Kamu sendiri ngapain?”

“Tadi aku habis nerima telepon dari temen kerja aku, terus gak sengaja lihat kamu.”

Anjani menggosok-gosokkan telapak tangannya. Ia berdecak kagum saat tak sengaja melihat paralayang melintas di atas mereka.

“Kapan-kapan kita main paralayang yuk?” ajaknya.

“Emang kamu berani?”

“Diberani-beraniin aja,” jawahnya, masih asik memandangi paralayang yang terbang menjauh. Satu senyuman terbit di wajahnya.

Tara memandanginya. Empat tahun mereka sama-sama di Mapala, Tara tak menyangka mereka akan berakhir bersama. Dulu ia dan Anjani tak begitu dekat, terlebih Anjani memang tipe orang yang sulit didekati. Interaksi mereka hanya seputar Mapala, tidak pernah lebih dari itu. Anjani bukan pula tipe idealnya, atau seseorang yang Tara bayangkan akan menjadi kekasihnya. Entah sejak kapan Tara terpikat pada perempuan itu.

“Kenapa ya aku nggak suka sama kamu dari dulu?” gumam Tara membuat perempuan itu menoleh.

“Kalau kamu suka aku dari dulu kayanya kita nggak mungkin pacaran.”

“Kenapa?”

“Karena aku pasti nolak kamu.”

Tara tertawa tanpa suara. “Kaya kamu nolak Jala?”

Anjani melotot kaget. “Kok kamu tahu?”

“Jala dulu pernah cerita.”

“Aku nggak nolak dia secara langsung kok. Cuma ngasih peringatan aja karena aku nggak mau pacaran sama temen seorganisasi.”

“Tapi sekarang kamu bahkan mau nikah sama temen seorganisasi.”

“Kan kita udah demis, kita udah gak usah pusing-pusing mikirin program kerja, mikirin LPJ, mikirin senior senior resek yang bakal ngecie ciein.”

“Trauma banget ya kamu dicie ciein?”

“Iyalah. Gara-gara itu aku jadi sebel sama Jala.”

“Dulu aku mikir kok kamu bisa sesadis itu ya? Tapi sekarang aku bersyukur kamu udah nolak Jala. Waktu aku nembak kamu sebenarnya aku juga takut, mana kamu sempat ngegantungin aku lagi. Jadi kupikir aku juga bakal ditolak kaya Jala. Ternyata malah diterima.”

“Kayanya waktu itu aku lagu kerasukan sesuatu,” canda Anjani yang membuat alis Tara terangkat naik.

“Oh ya? Bukannya kamu nerima aku karena aku keren banget?” Tara memberi penekanan lebih di dua kata terakhir, mengingat Anjani tentang percakannya dengan Jovan Yuskhaf tempo hari.

“Apa sih, narsis banget!” Anjani akan bersikap jutek bila ia sedang salah tingkah atau malu.

“Anak presiden aja katanya kalah keren dari aku.”

Segi Delapan [END]Where stories live. Discover now