00. Prolog

156 13 5
                                    

Bersamaan hembusan angin dari arah barat yang berhasil menerbangkan sepoi-sepoi poni halus Jo Hanni, seketika membuat kakak beradik itu tertawa dengan cara yang menggemaskan. Rambut sepunggung kecilnya di kepang tadi pagi oleh sang ayah, terlihat cukup berantakan sebab tidak begitu telaten. Poni yang sudah mulai panjang di bantu disisirkan sang kakak yang satu tahun lebih tua, yakni Jo Huan.

"Kakek, lihatlah rambut Hanni terbang-terbang." Heboh Huan bocah lima tahun itu pada sang kakek yang duduk tepat di depan keduanya.

Pria tua tersebut ikut tertawa pelan, mengusap poni Hanni sebelum meraih topi kecil di sampingnya untuk menahan rambut sang cucu kecil. "Kebetulan sekali tadi kakek membawakan topi kesukaan Hanni dari rumah," ucap pria paruh baya itu seraya memasangkan topi pink bermotif unicorn pink dan lilac, tokoh kartun kesukaan si bungsu.

"Sekarang rambut Hanni aman, tidak terbang lagi. Kalau dibiarkan tadi bisa-bisa Hanni terbang jauh sampai ke atas langit." kata Huan dengan telunjuk kecilnya menunjuk angkasa. Membuat adik dan sang kakek ikut mendongak ke atas sana.

Bukannya merasa ngeri seperti
yang kakaknya harapkan. Hanni justru
mematri senyum tipis sebelum
menatap sang kakak kembali. "Pasti
menyenangkan. Hanni bisa ketemu
mama dong. Ya kan, kakek?" Tanya
Hanni melempar tatapan penuh harap.

Merasakan suasana seketika berubah karena memilih kata yang salah. Huan langsung menarik tangannya kembali seraya memainkan jari-jari pendeknya di atas paha dengan ekspresi gugup. Sungguh, Huan tidak bermasud untuk membuat sang adik berpikir demikian. Huan hanya ingin menjahilinya saja, tapi kalau sudah begini bocah bermata bambi turunan dari ayahnya itu merasa tidak enak hati.

"Hanni mau ketemu mama, ya?" Tanya sang kakek yang langsung disambut anggukan semangat oleh cucu bungsunya tersebut. Bahkan sampai turun dari tempat duduknya sebelum memutari meja panjang di taman belakang rumah kakek, lalu menaikkan tangannya ke udara mengode ingin diangkat agar bisa duduk dalam pangkuan kakeknya.

Kakek Han sampai tertawa gemas sebelum menuruti keinginan
Hanni dan membawanya ke pangkuan.
Sementara, Huan yang tinggal sendirian diseberang tampak merengut sebelum bertanya dengan suara pelan. "Memangnya mama benar di langit ya, Kek? Kata papa begitu sih, tapi kenapa?" Tanya Huan sambil menopang dagu.

"Kalian ingin mendengarkan satu cerita sebelum itu?"

"Cerita? Apa seru.." tanya Hanni penasaran.

Huan terlihat tidak semangat awalnya sebab pertanyaan yang ia ajukan tidak diberi jawaban yang diharapkan. Akan tetapi, ucapan kakek berikutnya berhasil membuat bocah itu ikut tertarik. "Seru. Karena cerita ini tentang papa dan mama kalian." Kakek Han langsung tersenyum bahagia melihat kedua pasang mata bulat identik tersebut terlihat berbinar menunjukkan ketertarikan.

Tanpa menunggu lama, sebelum matahari sore semakin tenggelam di balik pegunungan. Kakek memejamkan matanya sebentar, menikmati sapuan lembut angin sore yang membelai wajah keriputnya. Merasakan kenangan masa lalunya seraya membayangkan bagaimana semua cerita ini bermula.

Sebuah danau, tempat yang menjadi saksi atas segalanya. Diiringi suara lembut sang istri yang bertanya berbisik tepat di telinga "Memangnya kita bisa
punya bayi dengan cara begini?" []

******

Cerita ini sudah ada di Karyakarsa sebelumnya. Ziza upload ulang di wattpad. Kalau sudah membaca tidak perlu membaca ulang karena ceritanya masih sama hanya ada beberapa perbedaan kosa kata saja🌷.

Jangan lupa tinggalkan jejak, always 💕

Golden Wine [End]Where stories live. Discover now