02. Han Aluna

37 7 0
                                    

Teruntuk melodi yang mengalun indah dari piring hitam dalam ruang kerja sang ayah. Aluna mengucapkan terima kasih karena berhasil membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

Menginjak usia tiga puluh tahun, adalah usia yang cukup sesak bagi beberapa orang. Puncak kehidupan. Batas masa muda katanya. Beberapa waktu belakangan ini banyak hal menyebalkan selalu mengusik Aluna, hingga membuat perempuan bermata hazel itu merasa kesal dan marah. Marah pada dirinya sendiri dan juga takdir yang seolah ikut enggan memberi pasangan seperti teman-temannya yang lain.

Usia tiga puluh tahu tentu saja sudah lebih dari cukup untuk memiliki kekasih dan menikah. Namun, Aluna sampai sekarang masih belum pernah merasakan hal yang katanya keindahan dunia, jangankan memiliki kekasih dan menikah. Mendapatkan pengakuan cinta dari seorang pria saja Aluna tidak pernah seumur hidupnya.

"Sungguh menyedihkan." Keluh Aluna pada dirinya sendiri. Bahu lurusnya seketika layu dengan tundukan kepala semakin dalam.

"Apanya yang menyedihkan, sayang?" Tanya mama yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut. Wanita setengah baya itu tersenyum hangat mendapati putrinya mendongak dengan bibir semakin mencibir. Walau sudah dewasa sisi manja Aluna selalu berhasil membuat samg ibu merasa gemas sendiri.

Ibu Ko ikut duduk sebelum membawa sang putri ke dalam pelukan, selalu, tidak pernah berubah. Pelukam yang selalu menjadi tempat untuknya menyerahkan segala keluh kesah. "Ceritakan pada mama. Apa Luna punya masalah akhir-akhir ini? Luna terlihat lesu terus
mama perhatikan."

"Teman Luna sudah menikah semua, ma. Hanya Luna yang bahkan tidak pernah punya pacar." Adu Luna tanpa tahu membuat hati sang ibu langsung mencelos begitu mendengarnya.

Meski pada awalnya pernah Zuha dan suami sepelekan, ternyata ucapan guru Jo hari itu benar-benar nyata. Mereka mencoba terus menunda agar Aluna hidup semakin lama dan berpikir mungkin saja ada cara lain untuk mematahkan sihir konsekuensi yang guru Jo berikan. Ternyata tiga puluh tahun menunggu tetap tidak terjadi apa-apa. Bahkan informan yang dulu tempat terpercaya mereka mendadak hilang entah ke mana.

"Aluna malu, ma. Setiap berkumpul pasti teman-teman selalu bertanya tentang kapan menikah. Rasanya lelah terus berbohong. Semakin hari terasa semakin berat. Lelah jawab pertanyaan orang-orang."

Ibu Ko mengusap punggung putrinya yang terus bercerita mengenai kehidupannya yang semakin berat karena tidak memiliki kekasih. Mungkin ini sudah waktunya seorang pria bermarga Jo meminum gold wine agar bisa jatuh cinta pada Aluna. Jika dia membicarakan hal ini pada suaminya, maka Heejon pasti akan menolak keras sebab sang suami tidak ingin menghadapi konsekuensi yang telah dibicarakan.

Hanya saja jika dipikir-pikir sepertinya mereka tidak akan pernah terhindar dari konsekuensi tersebut. Apapun jalan hidup yang mereka pilih, pada akhirnya konsekuensi yang disebutkan sudah ditakdirkan dalam kehidupan mereka. Dibandingkan membuat sang putri semakin menderita, Ko Zuha rasa ia sudah seharusnya bertindak. Setidaknya usaha terakhir yang bisa ia
berikan pada sang putri semasa hidup.

"Mau mama kenalkan dengan seorang pemuda?"

Mendengar tawaran sang ibu, Aluna langsung melonggar pelukan guna menatap antusias. "Mama serius?"

Zuha mengangguk. Tersenyum manis karena bahagia melihat wajah bersemangat Aluna akhirnya kembali. Mengusap rambut sang putri sebelum mencium keningnya sekejap. "Hm, dandan yang cantik malam ini ya sayang." []

Golden Wine [End]Where stories live. Discover now