Kardus Dan Harapan

98 6 4
                                    

Aku berdiri di sebuah jembatan layang yang di bawahnya tepat berada sebuah sungai yang besar. Udara dingin sedari tadi menabrak kulitku. Membuat seluruh sarafku meremang. Aku berpegangan pada tiangnya yang terdapat karat di beberapa bagian.

Aku termenung sesaat. Haruskah aku melompat? Sudah sepi orang, haruskah sekarang? Aku melihat kembali ke bawah. Ke arah sungai yang airnya bergejolak karena debit air berlebih akibat luapan air hujan.

Aku tak bisa berenang. Aku pasti akan mati jika terjun dari atas sini bukan? Aku merenungi semua kegagalan dan kesialanku selama setahun ini. Aku menimbang, alasan kuat apa yang harus gunakan sebagai alasanku untuk melompat.

Aku yang dipecat karena tidak pandai menjilat atasan di awal tahun. Ataukah aku yang sudah mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk tes CPNS dan berakhir gagal. Atau bisa juga karena kehilangan pria yang aku cintai karena keegoisanku yang berpikir dia bisa menghambatku. Aku kini bingung memilih alasan yang tepat.

Hidup sebagai pengangguran di umur 30an membuatku tidak percaya diri menjalani hidup. Kendati baru setahun ini aku jalani hidup sebagai pecundang. Namun semua terasa berat dan melelahkan. Pandangan tiap orang yang menghinaku. Ataukah itu hanya perasaanku saja?

Belum lagi di umurku yang sudah kepala tiga ini, aku belum juga memiliki pasangan hidup. Bukankah masyarakat selalu memiliki pandangan negatif pada setiap wanita seumuranku yang juga tak kunjung menikah.

Aku menghirup udara malam dalam-dalam. Entah alasan yang mana. Semua terasa sama menyakitkannya. Aku akan mengakhiri ini semua sekaligus. Pikirku sambil menaiki tiang pembatas.

"Gedubrak"

Sebuah suara mendistraksi niatku. Suara dari isi gerobak yang jatuh berhamburan. Seorang bapak tua nampak terengah menanjaki jembatan layang ini. Mungkin karena itulah, gerobak menjadi tak seimbang dan doyong lalu jatuh ke sisian kiri.

Aku yang melihatnya segera berlari ke arah bapak tua tersebut. Aku begitu kasian. Udara sangat dingin malam ini, tapi beliau masih harus mendorong gerobak yang tak tahu akan dibawa kemana. Ditambah semua barangnya kini tercecer di jalanan.

"Bapak gapapa? Saya bantuin ya, Pak?" Tawarku sembari ikut memunguti barang-barang yang tercecer.

"Makasih ya, Mbak. Maklum sudah tua, tenaganya sudah tidak sekuat dulu." Ucap lelaki tua itu sambil terkekeh. Guratan keriput itu terlihat semakin jelas saat dia tertawa.

"Bapak mau pulang?" Tanyaku. Masih memunguti kardus-kardus bekas milik bapak tua itu.

"Mau ke Jalan Niaga, nak. Mau jual semua kardus bekas ini. Baru kekumpul segini setelah seharian mencari." Ujarnya sambil tersenyum padaku.

"Oh.... Memang sekilonya berapa, Pak?" Tanyaku sambil terus memungut barang yang tercecer.

"Macam-macam, Mbak. Ada yang 2000 sekilonya. Ada yang sampai 5000 satu kilonya. Tapi karena hari ini cuma sedikit yang terkumpul, jadi saya ga berharap dapat banyak. Yang penting cukup untuk makan aja sudah bersyukur mbak." Ujar Bapak Tua itu lagi.

"Bapak ada keluarga di rumah?" Tanyaku penasaran.

"Anak saya sudah kerja semua, Mbak. Tapi saya sendiri tidak tahu mereka ada dimana. Istri saya sudah lama meninggal. Jadi saya tinggal sendiri. Saya bersyukur, Tuhan masih kasih saya hidup dan kekuatan untuk mencari rejeki." Jawab Bapak Tua itu lembut yang membuatku termenung. Perasaan malu mulai merayapiku.

Setelah selesai memungut semua barang bekas ke dalam gerobak. Sang bapak mengucapkan terima kasih dan berpamitan padaku. Dia berpesan agar aku cepat pulang karena udara malam hari ini terasa sangat dingin.

Tak terasa air mataku meleleh. Entah sejak kapan ia terjatuh. Aku usap kasar air mataku dan mulai mengejar bapak tua itu. Aku membantu beliau mendorong gerobak untuk dapat menanjaki jembatan layang ini. Setelahnya aku berikan jaketku kepada bapak itu agar ia tak kedinginan. Sang bapak sangat berterima kasih atas bantuanku. Kemudian berlalu.

Aku terdiam. Menyaksikan sosok bapak tua itu yang menjauh. Aku keluarkan ponselku, melihat jam yang menunjukan pukul 10.30 malam. Sesaat aku melihat pantulan bayanganku pada layar ponsel.

Aku merasa sangat payah. Hanya karena hidup tak berpihak padaku, aku ingin menyerah. Bodoh. Sementara bapak tua itu menerjang dinginnya malam setiap hari dan aku masih mengeluh tentang harapanku yang gagal.

Aku tersenyum. Air mataku kembali leleh. Terima kasih, Tuhan, kau telah mencegahku berbuat bodoh.

Lalu kenapa jika gagal. Bukankah bisa mencoba lagi. Bukankah kehidupan memang tentang perjuangan tanpa akhir. Aku tersenyum dan berjalan ke arah motorku yang terparkir. Kini aku ingin masa bodoh dengan pandangan orang lain. Aku ingin bahagia dengan caraku. Bukan demi pandangan orang lain, tapi untukku sendiri.

The End.

12 AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang