Satu

95 6 0
                                    

"TARAA! GUE ITUNG SAMPE TIGA KALO GAK TURUN JUGA GUE TINGGAL!"

Mereka sudah kesiangan tapi dirinya belum turun juga, dia itu sedang apa sebenarnya.

Tidak lama kemudian yang di panggil pun turun, Tirta memperhatikan penampilan adiknya itu. Tidak ada yang berbeda, dia tetaplah Tara tapi mengapa ia bersiap selama itu?

"Ayo berangkat." Dia langsung berlari ke mobil, mengabaikan Tirta yang menatapnya jengah di depan pintu utama.

"Tirta, lelet banget sih. Cepetan nanti telat!" Teriaknya dari dalam mobil.

Mengapa jadi cewek itu yang marah-marah, padahal kan ia yang lama.

"Hufh ... sabar, untung gue ganteng," gumamnya sambil menuju mobil.

Walaupun ganteng tidak ada urusannya dengan sabar, tetapi kita patut apresiasi kepercayaan dirinya.

Tirta langsung menancap gas, jika ia meladeni kembarannya itu tidak akan selesai yang ada mereka telat ke kampus.

"Bentar lagi masuk. Lo gak bisa cepetan dikit gitu bawa mobilnya? Ini kita mau telat."

"Cepetan gimana? Ini lagi macet, mata lo gak liat?"

Tirta kesal sekali kalau saja cewek itu tidak lama bersiap-siap pasti mereka tidak akan terjebak macet. Di jam-jam seperti ini memang rawan macet.

25 menit lagi kelas di mulai untungnya mereka sudah sampai di kampus. Tanpa menunggu Tirta, Tara langsung berlari menuju fakultasnya, lagian untuk apa menunggu Tirta toh mereka juga beda Fakultas. Tirta Manajemen Bisnis sedangkan Tara mengambil jurusan Teknik Informatika.

Seandainya ada dokter yang hanya melayani pasien masuk angin maka di pastikan Tara sudah jadi anak kedokteran. Tara ini orangnya takut darah tetapi mempunyai cita-cita ingin menjadi dokter.

Saat kelas tiga SD Tara dan Tirta pernah di tanya oleh orang tua mereka ingin menjadi apa besar nanti, Tirta tentu menjawab ingin seperti Papi, ingin bekerja di kantor seperti Papi katanya. Lalu saat giliran Tara, maka ia dengan lantang menjawab.

"Aku mau jadi dokter spesialis, Papi." Orang tua mereka yang mendengar itu tentu senang, Tara menjawab dengan penuh keyakinan itu artinya ia sungguh-sungguh ingin menjadi dokter spesialis.

"Tara ingin menjadi dokter spesialis apa, Nak?" Tanya sang Mami.

"Spesialis masuk angin, Mami."

Maka sejak saat itu senyum sang mami menjadi tolak angin.

****
"Lo harus tau, Rel. Tadi gue liat si Tara ke kampus bareng cowok." Sayaka menghampiri Karel yang sedang bermain game bersama Manu.

"Yang bener lo?" Karel heran sendiri kenapa saingannya tidak habis-habis.

"Serius gue, mana cowoknya ganteng banget lagi,"

"Lo sekarang suka batangan?"

"Najis, amit-amit gue."

"Tapi si Tara tuh gue perhatiin udah lumayan sering pulang pergi bareng itu cowok." Karel mengalihkan pandangannya ke Manu.

"Kayanya mereka pacaran." Tepat beberapa detik mengatakan itu Sayaka mendapatkan pukulan keras dari Karel.

"Apaan sih kambing, kok lo yang ngamuk?"

"Tau, kenapa marah? Makanya kalo suka tuh langsung sikat. Cuma luluhin satu cewek aja lama banget, payah, kalo dia gak mau paksa aja."

"Bego lo, yang ada dia malah menjauh dari gue."

Karel memang bukan yang diam-diam suka, dia terang terangan kok bilang suka ke Tara tapi memang cewek itu yang tidak ingin menjawabnya.

Cewek itu selalu saja menghindar entah apa alasannya yang pasti ia tidak pernah menjawab. Setidaknya katakan 'tidak' kalau ia memang tidak suka dengan Karel agar Karel berhenti, walaupun mustahil ia akan berhenti.

KATARAWhere stories live. Discover now