Roh Pemburu Cinta 4

82 4 0
                                    

Hubungan kekeluargaan Mak Supi dengan Pramuda membuat perempuan separuh baya itu sering mempunyai kepekaan rasa. Seperti halnya pada malam hujan deras itu. Hati Mak Supi merasa tak enak dan selalu resah memikirkan Pramuda yang belum sampai rumah. Padahal jam dinding diruang makan sudah menunjukkan pukul dua kurang lima menit dini hari.

Mak Supi tak bisa tidur nyenyak, sebentar-sebentar bangun dan bertanya dalam hati, "mengapa Tuan Pram belum pulang? ada apa di perjalanan?"

Di cobanya untuk melangkah ke ruang tamu dan menyingkap tirai penutup pintu berkaca itu. Jalanan komplek perumahan elite itu tampak sepi. Hujan masih deras di sertai angin yang walau tak terlalu kencang namun menyiratkan debar-debar kecemasan di hati Mak Supi.

Perempuan yang gemar mengenakan kebaya itu akhirnya masuk ke kamarnya lagi, berdoa dalam hati agar sang tuan muda tidak mendapat halangan apapun di perjalanan.

"Biasanya kalau terlambat datang, Tuan muda sering menelepon ke rumah dengan memakai Handphonenya, tapi mengapa dari tadi tak ada telepon dari Tuan Pram, ya?"

Andai saja Pram mendengar kata hati Mak Supi, mungkin dianggapnya terlalu berlebihan. Sebab, dalam kenyataannya Pram tidak merasakan kecemasan apapun kecuali perasaan heran yang berputar-putar dalam hatinya.

Mulanya Pram merasa cemas terhadap gadis yang di temukan di pinggir jalan tol itu. Bisa saja gadis itu adalah komplotan perampok yang menjebak Pram disuatu tempat. Tapi setelah Pram memberanikan diri untuk menanyakan pribadi si gadis, maka kecurigaannya hilang sedikit demi sedikit.

"Mengapa kau hujan-hujan dan lewat tengah malam begini berada di pinggir jalan tol?" Pram kembali melirik kaki si gadis yang tak bersepatu dan atau mengenakan sandal jepit itu.

Kemudian ia menambahkan kata sebelum si gadis menjawab. "Apakah Kau membawa tas dan... tidak beralas kaki. Apakah kau habis mengalami musibah? Hmm... di rampok? Atau... di perko..."

Pram tidak tega untuk melanjutkan hasratnya yang ingin menyebut kata "di perkosa" itu. Tapi agaknya si gadis sudah mengerti apa yang di maksud oleh Pram.

Dengan tanpa memandang ke arah Pram, melainkan lurus ke depan bagai orang menerawang, si gadis pun memberikan jawaban yang masih terkesan datar.

"Aku dibuang."

"Dibuang?!" Pram melirik sebentar. "Siapa yang membuangmu?!"

Si gadis mengambil nafas dalam-dalam, diam sesaat, kemudian menjawab pelan. "Sulit untuk di terangkan padamu."

Pram membisu tiga hitungan, kemudian suaranya terdengar dengan nada ramah. "Boleh tau namanya?"

"Kumala Dewi." Jawab gadis itu tanpa ragu-ragu, juga tanpa berpaling memandang Pram. Ia tampak menggigil, hati Pram menjadi iba.

"Di jok belakang ada jaket. Ambil dan pakailah sebagai penghangat tubuhmu sementara."

Gadis itu tak sungkan-sungkan melakukan apa yang di perintahkan Pram. Ia mengambil jaket tebal yang kerahnya berbulu, kemudian di kenakannya begitu saja tanpa ada rasa canggung atau malu sedikitpun.

Setelah itu dia duduk dengan kedua tangan bersedekap dan memandang ke arah depan lagi. Kali ini pandangannya tidak sekosong tadi. Pandangan mata itu memperhatikan keadaan kanan-kiri jalan, lampu-lampu gedung dan tulisan-tulisan berneon terang. Dia seperti orang yang baru mengenal kota Jakarta.

Pram agak heran, secepat itu ekspresi si gadis berubah menjadi seperti orang udik masuk kota. "Namaku Pramuda, dan kau bisa memanggilku Pram saja."

Gadis itu tak menggumam, menatap Pram sebentar, kemudian memperhatikan kanan-kiri jalan lagi.

"Cuek sekali dia," pikir Pram sambil menyunggingkan senyum kecil, lalu mengajaknya bicara lagi.

"Tujuanmu mau kemana, Kumala...??"

"Entah, aku belum mempunyai tujuan yang pasti."

Hati pemuda itu menggerutu, "wah, jangan-jangan perek nih?? Celaka!"

Pram sengaja diam saja saat mobilnya sudah melewati Jembatan Semanggi, turun ke bawah dan menuju ke arah Blok M. Gadis itu juga diam saja, tak ada protes sedikitpun. Padahal ia tadi bilang mau turun di Jembatan Semanggi. Pram memendam keheranan dalam hatinya.

"Kumala, bagaimana jika kau ku antar pulang ke rumahmu?" pancing Pramuda.

"Apakah aku mempunyai rumah di dunia ini?" Kumala Dewi justeru balik bertanya, membuat Pram tertawa pelan karena menganggap si gadis sedang bercanda.

"Aku turun di Jembatan Semanggi saja," kata Kumala.

"Lho. Jembatan Semanggi sudah lewat," ujar Pramuda.

Gadis itu menatap Pramuda dengan dahi sedikit mengkerut. "Mengapa kau tidak berhenti dan menyuruhku turun? Bukankah tadi ku bilang akan turun di Jembatan Semanggi?"

"Habis, kau diam saja!" bantah Pramuda.

Kumala Dewi tarik nafas kembali, sepertinya sedang menahan rasa dongkol dalam hatnya. Pramuda menjadi serba salah. Hatipun menjadi berkata pada diri sendiri.

"Rupanya dia belum tahu seluk beluk kota Jakarta. Dia belum tahu letak Jembatan Semanggi. Hmm... berarti dia bukan dari Jakarta. Lalu, darimana asalnya?"

Katika Pram menanyakan hal itu, Kumala membenarkan, ia mengaku belum tahu dimana letak Jembatan Semanggi dan bahkan belum tahu seperti apa itu jembatan Semanggi.

Hal yang paling menggelikan di hati Pram adalah kata-kata polos dari Kumala ketika menyatakan anggapannya tentang jembatan Semanggi.

"Kusangka Jembatan Semanggi adalah jembatan sebuah sungai panjang yang bernama sungai Semanggi. Ku tunggu melihat air sungai mengalir, lalu aku akan berkata berhenti padamu, dan aku akan turun. Tapi ternyata dari tadi tak kulihat sebuah sungai, sehingga ku pikir belum sampai Jembatan Semanggi."

Kalau saja tak khawatir menyinggung perasaan si gadis yang sejak tadi tanpa senyum itu, Pram akan tertawa keras di dalam mobilnya mendengar pengakuan polos itu. Tapi demi menjaga perasaan si gadis, Pram hanya tertawa pendek dan menjelaskan tentang Jembatan Semanggi.

"Darimana asalmu, Kumala?"

"Dari langit!" jawab Kumala.

Jawaban itu membuat Pram melebarkan senyum memanjangkan tawa walau tak terbahak. Pram yakin kalau si gadis itu mempunyai selera humor yang cukup lumayan, walau tak pernah tersenyum atau tertawa setiap melontarkan humornya. Justru ekspresi seperti itulah yang menurut Pram merupakan ekspresi seorang humoris yang pendai melontarkan canda menggelikan bagi lawan bicaranya.

"Jika kau tak tau kemana arah tujuanmu, sedangkan hari sudah kelewat malam begini, belum lagi hujan yang tiada kunjung reda, aku punya saran padamu, Kumala."

Gadis itu tak bertanya, namun memandang Pram dengan matanya yang punya nada-nada curiga.

"Aku tidak bermaksud jahat padamu," ujar Pram.

"Aku hanya ingin menolongmu. Kurasa kau sedang kalut dan tak tau harus melangkah kemana. Jadi, aku punya saran agar kau bermalam di rumahku dulu. Mungkin esok pikiranmu sudah mulai tenang dan kau dapat menentukan langkah harus kemana."

"Aku bermalam di rumahmu? tidur di sana?" dahi gadis itu sedikit mengkerut.

Pram mulai tak enak hati lagi. "Aku bersumpah, gak bermaksud jahat apa-apa padamu kok. Itu hanya saran, katakanlah usul. Kau boleh menolaknya jika kau gak setuju dengan usulku."

Cukup lama gadis itu membisu, sepertinya ada beberapa hal yang di pertimbangkan.

****

1. Roh Pemburu Cinta✓Where stories live. Discover now