Roh Pemburu Cinta 12

64 5 0
                                    

"Kau pernah membacanya di sebuah majalah berbahasa Inggris, bukan? Itu nama serum yang terdapat dalam sebuah bunga, semacam bunga anggrek liar. Orang Indian menyebutnya papasinca, yang sangat mujarab untuk mengeringkan luka. Tapi menjadi sangat berbahaya jika di jadikan serum. Bisa membuat orang mati seketika jika terkena bunganya yang berwarna merah lembayung itu. Jenis anggrek yang kau maksud itu banyak terdapat di Colombia."

Pramuda terbengong. Jarang orang tahu tentang anggrek liar itu, kecuali orang kedokteran atau orang pertanian, itu pun tidak semua orang mengetahuinya. Pram memang memperoleh pengetahuan tentang serum itu dari hasil membaca sebuah majalah berbahasa Inggris yang bernama Readers Digest. Tapi apakah Kumala juga tahu nama majalah itu?

Pram sendiri masih ingat namanya. Ketika Pram menanyakannya, Kumala hanya tersenyum, lalu menjawab.

"Majalah itu bernama Readers Digest, sebuah majalah luar negeri bacaan para ilmuwan."

"Gila!!" gumam Pramuda, kali ini ia mulai percaya dengan apa yang dikatakan Kumala. Ia telah memilihkan satu kata yang sulit di ketahui oleh orang lain, tapi ternyata Kumala bisa membeberkan arti kata itu sesuai apa yang ada di dalam ingatan Pram.

"Bahkan sejak kemarin," kata Kumala, "...aku tahu kau sedang memikirkan kakakmu yang bernama Prasetya. Dia sedang sakit, bukan? Kanker otak, bukan?"

Mulut Pramuda melongo dengan mata tak berkedip memandang Kumala Dewi. Gadis itu cuek saja, bahkan menghisap rokoknya kembali, seakan sangat menikmati asapnya. Pram diam sampai beberapa helaan nafas, karena ia tak tahu harus berkata apalagi kepada gadis itu. Kekaguman dan rasa herannya belum pupus dari hati Pramuda, sehingga suasana menjadi hening sesaat.

"Sudharma Prayoga adalah nama ayahmu, bukan??"

Pramuda terkejut bagai tersundut rokok. "Da... darimana kau tahu? Mengapa kau sebut nama papaku itu?"

"Karena baru saja kau ingin menanyakan padaku siapa nama ayahmu,"jawab Kumala Dewi sambil tersenyum.

"Sebelum kau mengujiku aku sudah menjawabnya dengan benar, bukan?!"

"Gila!!" gumam Pramuda dengan suara di tekan berat-berat. "Siapa kau sebenarnya, Kumala? Mengapa kau tak mau berterus terang kepadaku??!!"

"Kalau ku jelaskan siapa diriku yang sebenarnya, apakah kau sudah siap?"

"Sudah siap bagaimana maksudmu??" desak Pram dengan penuh semangat.

"Sudah siap mempercayai kata-kataku atau belum? Karena jika kau ingin mengetahui siapa diriku maka kau harus siap menerima kenyataan yang ada pada diriku. Tidak semua orang percaya dengan apa yang ku katakan, terlebih pada abad sekarang yang segalanya sudah serba maju menurut alam pikiran manusia."

"Jelaskanlah, Mala! Setidaknya kau tidak menyiksaku dengan rasa penasaran yang dapat mengganggu ketenangan jiwaku, Mala."

Gadis itu memandang dengan senyum kecil bagaikan sedang menggoda.
Pramuda mendesah, membuang keresahannya sambil berpaling ke arah lain. Kumala mengambil sekaleng coca cola dari tas plastik berlebel sebuah supermarket, karena mereka sempat singgah ke sana sebelum meluncur ke pantai.

Selain minuman kaleng, mereka juga membeli buah dan snack dalam kantong plastik.

Jraaaabs..!

Kumala Dewi membuka tutup kaleng coca cola tersebut. Pramuda memperhatikan gadis itu menenggak minuman tersebut.

"Apakah kemampuan membuka tutup kaleng itu juga kau dapat dari hasil menyadap pikiranku?" tanya Pramuda.

"Ya, selain itu aku tadi juga melihat seorang bocah membuka tutup kaleng dengan cara menarik pengaitnya. Aku perlu mempelajari hal-hal seperti ini, karena minuman kaleng seperti ini tidak ada di tempat asalku."

"Darimana asalmu sebenarnya??"

"Kahyangan."

"Mala, aku bertanya serius. Darimana asalmu sebenarnya??"

"Berarti kau belum siap menerima kenyataan yang ada padaku, Pram!"

"Mengapa kau bilang aku belum siap??"

"Karena kau menganggap kalau jawabanku tadi masih sekedar canda. Kau menganggap aku tidak serius, bukan??"

Pramuda diam tertegun merenungi jawaban sigkat tadi. Sesaat kemudian dia membuang rokoknya sambil mulai bicara kembali.

"Aku tak jelas dengan maksud jawabanmu itu. Kahyangan itu nama sebuah pemukiman ekseklusif atau sebuah desa?"

Kumala Dewi sedikit merebahkan sandaran joknya. Ia agak merebah, matanya memandang ke arah langit terang dari kaca depan mobil. Tangan kirinya memegang rokok yang sesekali di jentikkan abunya keluar mobil. Sementara kaleng coca-cola di genggam dan berada di pangkuannya.

"Kahyangan tidak ada di duniamu, Pram. Barangkali dalam kehidupanmu, kahyangan adalah bagian dari legenda atau dongeng yang lahir secara turun temurun dan mungkin sekarang sudah sebagian orang saja yang masih menyimpan sisa ingatan tentang dongeng tersebut."

"Teruskan." Perintah Pram ketika Kumala sengaja berhenti sejenak.

"Aku siap mendengarkan apapun yang kau katakan, Mala. Aku akan mencoba untuk mempercayainya. Teruskan ceritamu." Sambil Pramuda juga sedikit merebahkan sandaran joknya.

"Aku sudah ada sebelum nenek moyangmu ada," ujar Kumala dengan tegas.

"Maksudmu, kau lahir di jaman pemerintahan Majapahit atau..."

"Jauh sebelum pemerintahan Majapahit berdiri aku sudah ada," potong gadis itu sambil menatap Pram sebentar, kemudian kembali memandang ke arah langit yang cerah.

Pramuda menarik nafas, mencoba menelan bulat-bulat pengakuan tersebut.

"Ibuku adalah seorang bidadari yang bernama Dewi Nagadini, dan ayahku... Dewa Permana, yaitu yang menguasai ketampanan di antara para Dewa lainnya. Sedangkan ibuku, Dewi Nagadini, menguasai segala kehidupan binatang melata. Beliau adalah seorang perempuan dengan wajah cantik namun berbadan naga."

Kumala sengaja diam dan melirik Pram, ia ingin mengetahui reaksi dari pemuda itu. Tapi si pemuda diam saja, tanpa senyum dan tanpa cibiran.
Namun tampak menyimak baik-baik. Kedua matanya juga memandang ke arah langit yang terhalang oleh dedaunan kelapa.

"Teruskan saja, aku tak akan mengecam apapun yang kau katakan, Mala."

Maka gadis itu pun melanjutkan ceritanya. "Dulu ibuku berwajah cantik dan bertubuh sempurna. Elok, seksi, menggiurkan, kalau istilah sekarang; sexy sekali. Tapi ia melanggar peraturan para dewa. Ia bercinta dengan Dewa Permana, padahal Dewa Permana adalah sepupunya sendiri. Akhirnya oleh Hyang Maha Dewa di kutuk menjadi manusia berbadan naga. Namanya yang semula adalah Dewi Andini berubah menjadi Dewi Nagadini. Percintaan itu berhenti dan tidak menghasilkan keturunan."

Kumala Dewi meneguk coca-cola sesaat, rokoknya di hisap satu kali, lalu dibuang. Ia pun segera melanjutkan ceritanya kembali dengan suara jelas dan tegas, tampak bersungguh-sungguh.

"Tetapi rupanya ibu tidak bisa menahan diri. Ia selalu merindukan Dewa Permana, dan rupanya Dewa Permana pun demikian. Akhirnya mereka melakukan hubungan gelap kembali, yang istilah sekarang di namakan scandal. Dari hasil hubungan gelap tersebut, ibu mengandung dan melahirkan seorang bayi perempuan. Para dewa murka, dan tak mau menerima kehadiranku di antara mereka. Aku di anggap hanya anak haram yang lahir karena nafsu belaka. Maka, sebagai hukumannya, Ibu di pisahkan dengan anaknya. Aku di buang ke bumi dalam sosok sebagai manusia perempuan."

Kumala Dewi menari nafas, sepertinya sedang menahan perasaan sedih yang tak ingin diperlihatkan di depan Pramuda. Diam-diam pemuda itu menatapnya lewat spion samping. Ia menemukan seraut wajah duka di sela kecantikan Kumala Dewi itu.

"Murkanya para dewa mengakibatkan hujan badai tanpa kilat. Saat itulah aku di buang ke bumi dalam bentuk sinar hijau dan jatuh ke jalanan beraspal. Aku kehujanan, dan akhirnya bertemu denganmu."

Pramuda menarik nafas. "Apakah kau lahir sudah sebesar ini??"

****

1. Roh Pemburu Cinta✓Where stories live. Discover now