Roh Pemburu Cinta 19

50 6 0
                                    

"Aku...?! Aku punya istri macam dia?! Ooh apa aku sanggup?!"

"Memangnya kenapa, Tuan?"

"Aku tak akan punya kebebasan bergerak. Segala ruang gerakku terkontrol oleh kekuatan batinnya. Dan..."

"Tapi apakah Tuan ingin bebas  selamanya? Lalu kapan Tuan akan menjadi lebih maju dari sekarang?"

Pramuda hanya tersenyum, namun hatinya merasa mendapat ketukan kecil dari ungkapan polos si pelayan itu. Maka hatinya pun mulai mengakui beberapa kelemahan yang dimiliki pribadinya, yang harus segera dibuang jika ia ingin lebih dewasa dan lebih berkembang dari sekarang.

"Sepertinya aku ini seorang pengecut!" kecam Pramuda pada diri sendiri. "Mengapa harus takut terikat oleh tanggung jawab? Selayaknya jika aku sudah tidak sebebas hari-hari kemarin, karena kehidupan lebih dewasa menuntut tanggungjawab sebagai seorang ayah atau seorang suami. Mengapa harus kubiarkan hal ini. Bodoh amat aku ini!"

Hati yang mulai tergerak oleh pandangan masa depan, kali ini mencoba mendekati lebih rapat lagi kepada Kumala Dewi. Pram merasa tak ada ruginya, mempunyai istri secantik bidadari, meski ia kebebasannya harus tersita sebagian demi masa depan mereka bersama.

Pram mulai bicara tentang kelanjutan hubungannya dengan Kumala Dewi ketika mereka bersantap malam di sebuah kedai bertenda di pinggiran jalan. Sekalipun kedai itu bertenda di pinggiran jalan, tapi para pembelinya kebanyakan orang orang bermobil dan dari golongan menengah ke atas. Kumala Dewi hanya tertawa kecil tanpa suara senyumnya membias lebar dan menjadi pusat curian mata para lelaki yang sedang makan di situ.

"Kau belum siap menjadi seorang suami, lebih-lebih menjadi suamiku, sama sekali belum siap. Dan mungkin tidak akan siap."

"Mengapa kau bilang begitu, Mala? Apakah aku masih tampak seperti anak kecil?"

"Aku tak menilaimu begitu. Tapi kurasa dalam waktu dekat kau bisa tahu sendiri mengapa aku berkata begitu." Kini gadis itu menatap Pram yang ada di bangku depannya. "Aku sendiri tidak mempunyai benih cinta kepadamu Pram. Tapi aku mempunyai benih persahabatan dan kekeluargaan yang tumbuh subur dalam hatiku. Kau, Renna, Pras dan mamamu walau kami baru berkenalan tapi aku menganggap kalian seperti keluargaku sendiri. Mungkin kau adalah kakakku atau mungkin juga adikku!"

"Tak ada yang lebih dari rasa itu, Mala?"

Kumala menggeleng. Tenang dan tampak anggun sekali. "Persahabatan kadang lebih abadi dari sebuah cinta, bukan? Persahabatan tidak mengharuskan kita saling berpisah dan..."

Tiba-tiba Kumala menghentikan ucapannya. Ia tersentak kecil, seperti menyimpan rasa kaget yang datang secara tiba-tiba. Bahkan wajah cantiknya berubah menjadi tegang, pandangan matanya memancarkan kegelisahan yang diwarnai oleh rasa takut. Kulit lengannya yang ada di atas meja itu tampak merinding.

"Mala, ada apa?!" tanya Pram dengan rasa ingin tahu. Ia sendiri menjadi cemas melihat Kumala berubah setegang itu.

"Pram, kita pulang sekarang juga!"

"Kenapa harus sekarang?!"

"Aku ke mobil duluan!"

"Hei, pesanan kita belum dihidangkan, Mala! Tunggu dulu!"

Tapi Kumala Dewi tetap bergegas pergi ke mobil. Ia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di jok belakang. Pramuda sempat merasa heran, karena mobil dalam keadaan dikunci, tapi mengapa Kumala bisa membuka pintu mobil?

Setidaknya jika pintu mobil dipaksa, maka alarm yang terpasang di balik pintu akan berbunyi dan menimbulkan suara bising. Pramuda akhirnya menyadari bahwa Kumala bukan gadis biasa. Tentu saja ia dapat membuka pintu mobil yang terkunci dengan kekuatan gaibnya. Tapi yang membuat Pram heran adalah perubahan sikap Kumala yang sangat mendadak itu.

"Mengapa ia tiba-tiba berubah begitu. Ada apa sebenarnya? Wajahnya tadi tampak pucat dan pandangan matanya sangat ketakutan."

Pramuda menyuruh pelayan agar pesanannya tadi dibungkus saja. Ia tak jadi makan di situ. Tapi pekerjaan membungkus pesanan dirasakan terlalu lamban bagi Pram yang sudah tak sabar ingin segera menemani Kumala di dalam mobil. Maka ia pun akhirnya menyempatkan diri untuk datang ke mobil sebentar.

"Mala...?! Mala...?!" Pramuda sempat tegang melihat Kumala tak ada di dalam mobil. Tapi ia segera mendengar suara orang menggumam yang ada di jok paling belakang.

"Mala, mengapa kau duduk di situ?"

"Jangan nyalakan lampu!" sentak Kumala ketika melihat tangan Pram ingin menyalakan lampu tengah.

Pramuda tak jadi menyalakannya. "Tapi kau jangan duduk di belakang begitu, Mala! Duduklah di depan seperti biasa!"

"Tidak. Pram! Aku di sini saja. Cepat bawa aku pulang. Pram."

"Baiklah. Aku ambil pesanan kita tadi. Kusuruh bungkus agar bisa kita santap di rumah saja. Sebentar, kuambil ke sana!" Pramuda segera pergi dengan setengah berlari.

Kemudian kembali lagi dan buru-buru meluncur ke rumah dengan hati penuh tanda tanya. Sesekali ia melirik ke arah kaca spion di depannya, memperhatikan Kumala yang ada di jok paling belakang sana, tapi Kumala justru duduk di lantai mobil, seakan berlindung dari pendangan Pramuda yang diketahuinya melirik lewat kaca spion.

"Mala, jelaskan apa yang terjadi sebenarnya biar aku tak salah paham padamu!" pinta Pramuda berkali-kali.

Pram benar-benar ikut panik, karena nafas Kumala terdengar terengah-engah dan seperti orang sedang menggigil diserang demam. Akhirnya gadis itu hanya berkata.

"Ada sesuatu yang kulupa!"

"Tentang apa itu?!"

"Malam ini pasti tepat malam bulan purnama! Dalam perhitungan penanggalan jawa, malam ini pasti tepat tanggal lima belas. Rembulan tepat ada di tengah dan menampakkan diri sepenuhnya."

"Teruskan penjelasamnu!" desak Pram ketika Kumala berhenti bicara. Tapi suara yang terdengar hanya suara mendesah beberapa kali, diselingi suara menggeram yang bergetar seperti Orang kedinginan.

"Percepat jalannya mobil, Pram! Percepat sampai di rumah!"

"Baik, baik...! Kuusahakan lebih cepat lagi, Mala." Pram mematuhinya dengan harapan dapat mengurangi rasa paniknya.

Tapi ternyata usaha Pram sia-sia, karena beberapa saat kemudian, mobil terjebak dalam kemacetan. Maju tak bisa, mundur tak bisa.

"Aduuuh...! Kenapa lama sekali sampai di rumah?!" geram Kumala dengan suara menggigil. "Ssshh... aaahhh, cepatlah, Pram! Cepaaat...!"

"Jalanan macet, Mala! Di depan sana tampaknya ada kecelakaan!"

"Ambil jalan lain. Tolol!" Bentak Kumala Dewi menandakan semakin panik.

"Tak ada jalan lain yang bisa kita tempuh, Mala! Kita berada di jalanan satu jalur dan tak ada belokan lain!" Pramuda menyempatkan melirik lewat spionnya, karena suara di belakang semakin gaduh.

Samar-samar terdengar suara nafas orang yang ingin menangis. Akhirnya, Pram mendengar ucapan Kumala yang bernada tangis. "Oh, tidak...! Tidak...! Jangan sekarang! Ooh... ibu tolong aku...!"

"Dia menangis?!" pikir Pramuda dengan jantung berdetak-detak. Ia sempatkan diri menengok langsung ke belakang.

Namun pandangan matanya terhalang sandaran jok tengah. Kumala Dewi bagai kian bersembunyi dengan merapatkan tubuh dengan lantai mobil.

"Mala...?! Malaa...?!" Pramuda mencoba menegurnya dengan hati-hati sekali.

"Ooh... jangan! Jangan sekarang...! Oohhh... lekaslah, Pram. Lekas bawa aku ke rumah...!" pinta Kumala dalam suara tangis, isaknya terdengar jelas, dan entah apa yang dilakukannya hingga suara gaduh itu masih terdengar terus di sela-sela tangisnya.

****

1. Roh Pemburu Cinta✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant