INZ - 10

7.1K 536 24
                                    

Sikap Adeline begitu mencurigakan bagi Kaivan, bahkan setelah pertemuan pertama mereka. Kaivan merasa ada yang aneh, seolah Adeline mengenalnya sejak lama. Apa lagi tatapan gadis itu saat menatapnya, padahal Kaivan sendiri yakin jika hari itu pertemuan pertama mereka.

Beberapa kali dia memergoki Adeline yang sedang menatap ke arahnya dengan berbagai tatapan. Entah penasaran, bahkan sedih. Seolah Kaivan memiliki dosa kepada gadis itu yang sampai ini belum terbalas.

Seperti saat ini. Kaivan sadar sejak tadi Adeline menatapnya, tetapi Kaivan berusaha acuh. Sayangnya tidak semudah itu, Kaivan merasa risih, apa lagi saat ini mereka sedang di kantin.

Kaivan menoleh, hingga tatapan mereka bertemu. Dapat dia lihat Adeline langsung memalingkan wajah dan terlihat seakan tidak peduli. Kaivan kembali mengedikkan bahunya, lalu pergi dari kantin.

Adeline yang sejak tadi memperhatikan Kaivan mendesah kecewa saat pemuda itu pergi. Dia meletakkan sendok dan menjauhkan semangkuk bakso yang belum tersentuh. Dia masih terus terganggu dengan visual Kaivan yang begitu mirip dengan Gazza.

Nyatanya walau berusaha meyakinkan diri. Adeline merasa ada yang aneh, seakan yang ikut masuk ke dunia ini bukanlah dia sendirian.

"Kenapa lo?" Adeline tersentak saat tangan besar seseorang menyentuh kepalanya lembut. Saat mendongak Adeline langsung menemukan Andrew yang sedang tersenyum tipis ke arahnya.

"Kak!" Adeline berseru senang. Pasalnya sudah beberapa hari mereka tak bertemu karena Andrew begitu sibuk.

"Kenapa enggak makan?" Andrew langsung bertanya ketika melihat semangkuk bakso yang seperti belum tersentuh.

"Hehe iya makan." Adeline kembali mendekatkan mangkok, dan memakan isinya. Bukan apa-apa bisa panjang urusan kalau Andrew sampai mengadui hal ini ke ibunya.

"Renata ke mana?" Sejak tadi memang Adeline sendiri. Hal itu cukup kontras, karena biasanya Renata selalu bersamanya ke mana pun.

"Di kelas ngerjain tugas," balas Adeline.

"Terus lo malah di sini?"

"Aku udah selesai, dong!" Adeline tau arah pembicaraan Andrew. Memang sebenarnya Renata mengerjakan PR, dan untungnya Adeline sudah selesai sejak kemarin.

Pasalnya Adeline ini salah satu murid yang tidak suka menunda untuk mengerjakan tugas. Karena menurutnya itu buang-buang waktu dan bisa saja dia lupa karena keasikan dengan lainnya.

"Kakak kok jarang ke rumah sih? Vion juga mana?" tanya Adeline.

"Itu!" Adeline tertegun saat melihat Vion ternyata sedang jalan ke arah mereka. Menakjubkan baru saja di cari sudah menunjukkan diri.

"Lama amat!" protes Andrew ketika Vion duduk di sebelahnya.

"Kak Vion dari mana?" tanya Adeline antusias.

"Kelas, ngerjain tugas." Adeline menunjuk Vion dengan mata mengerling.

"Ini dia anak-anak yang suka ngerjain PR di sekolah." Andrew dan Adeline tertawa.

"Enak aja!" Vion tak terima. Walau sebenarnya memang benar adanya, tetapi sepertinya Vion tidak seburuk itu.

"Vion!" Atensi ketiga saudara itu langsung teralihkan pada seorang gadis yang sedang berjalan cepat ke arah mereka dengan sebuah kotak makan di tangannya.

Adeline menyipit, dia tau kenapa alasan Selyn berada di sini.

"Ini makanan yang kamu pesen!" Tentunya bukan makanan yang Selyn buat. Keduanya terlibat masalah, dan dengan konyolnya Vion meminta selalu dibawakan makanan rumahan, seperti tidak punya uang saja.

"Duduk!" Vion mencekal tangan Selyn saat gadis itu ingin pergi.

Selyn menatap Andrew dan Adeline canggung. Apa lagi dia merasa tak mengenal Adeline, takut-takut jika gadis itu adalah pacar Vion. Walau dia tau Vion tak pernah berpacaran.

"Duduk," titah Vion.

Selyn mengangguk pada akhirnya. Dia tersenyum ramah ke arah Adeline dan Andrew, lalu duduk di sebelah Adeline.

"Kenalin aku Adeline adiknya Kak Vion!" Adeline memperkenalkan diri, dia melirik sekilas pada Vion yang memasang wajah tak peduli.

"Oh kamu adiknya, adik kandung atau .....?"

"Sepupu!" balas Adeline.

"Salam kenal, aku Selyn." Selyn menyodorkan tangannya, mengajak Adeline untuk bersalaman dan langsung disambut baik oleh Adeline.

Adeline mengingat jelas akhir kisah Vion dan juga Selyn. Walau terlalu banyak rintangan dari hubungan keduanya, tetapi keduanya tetap bersatu. Vion membuktikan seberapa besar cinta pemuda itu pada Selyn, dan akhirnya mereka menikah saat sudah lama terpisah nanti.

Adeline kecewa, dia sendiri tidak tau jalan takdir hidupnya. Dia hanya seorang figuran, yang tak memiliki arti apa-apa di sini.

Adeline menegakkan tubuh, apakah Kaivan juga figuran, atau masuk ke dalam list tokoh yang penting? Dia lupa apakah nama Kaivan pernah di sebut.

"Aku ke kelas dulu, kalian lanjutin ngobrolnya!" Adeline berlari ke luar kantin. Menimbulkan tatapan bertanya dari kedua sepupunya, termasuk Selyn.

Selyn menoleh, dia menatap Andrew dan Vion secara bergantian. Sudah suasana menjadi begitu canggung saat ini, dan rasanya Selyn ini menelan dirinya hidup-hidup.

***

"Renata!" Adeline memasuki kelas dengan berteriak, dia menghampiri Renata yang sepertinya sudah selesai mengerjakan tugas.

"Dari mana?" tanya Renata.

"Kantin," balas Adeline.

Adeline duduk di hadapan Renata, menatap gadis itu dengan saksama. Hal itu membuat Renata langsung bergidik ngeri.

"Aku mau tanya." Adeline kembali merapatkan diri agar lebih dekat dengan Renata, dan Renata mendengaer jelas pertanyaannya.

"Apa Kaivan kenal dengan Andrew atau Vion?" Renata langsung menggeleng.

"Selyn?" Renata kembali menggeleng.

"Kaivan itu bukan anak populer, walau cukup banyak yang kenal dia. Dan lo tau? Kaivan itu bukan anak orang berada, jadi dia cukup dijauhin di sekolah ini." Adeline tertegun. Bagaimana bisa sosok sama seperti Gazza hidup jauh berbeda.

Dari sini Adeline kembali meyakinkan dirinya. Seolah tuhan menegaskan jika Gazza dan Kaivan adalah orang yang berbeda. Bahkan sampai kehidupan mereka berdua, atau bahkan sikap dan garis takdir.

Adeline mengangguk paham, sampai sini dia mengerti. Apa saja yang berbeda dari sosok Gazza dan Kaivan. Bukan hanya materi, tetapi Adeline yakin Kaivan tidak ada sangkut pautnya dengan Gazza.

Gazza adalah Gazza, dan Kaivan adalah Kaivan. Keduanya hidup di dunia berbeda, dan Adeline tak bisa menyamakan keduanya dalam segi apa pun. Karena saat disamakan dengan seseorang adalah hal yang menyakitkan.

Jangan lupa vote dan komen. Tinggalkan jejak biar aku semangat nulisnya.

I'm Not Zora (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang