INZ - 14

5.3K 422 17
                                    

Adeline melirik pada seorang pemuda yang saat ini tampak tak peduli dengan kehadirannya. Padahal beberapa kali Adeline menawarinya untuk ikut makan, dan pemuda itu sangat keras kepala malah menganggap Adeline sebagai angin lalu.

"Beneran enggak laper?" Adeline menyodorkan makanannya ke arah Kaivan. Kaivan menoleh, menatap sendok di tangan Adeline dengan alis terangkat.

"Aaaaa." Kaivan menggeleng dan memundurkan kepalanya untuk menghindari sendok Adeline. Sayangnya Adeline sepertinya tidak pantang menyerah.

"Ayo dong." Kaivan menghela napas kasar, dengan terpaksa dia menyambut suapan Adeline. Hal itu sukses membuat senyum Adeline melebar, bahkan tanpa sadar Adeline menepuk tangannya heboh.

"Luar biasa Kaivan si kulkas berjalan menerima suapan aku." Kaivan memutar bola mata malas, dia mengalihkan perhatiannya kembali ke ponsel dari pada meladeni Adeline yang menurutnya tak benar bisa diam.

"Ngomong-ngomong Kaira gimana?" tanya Adeline sambil mengunyah makanannya.

"Baik-baik aja, apa lagi enggak diganggu sama lo." Adeline menatap sebal Kaivan. Sungguh pemuda di depannya ini tidak ada mania-manisnya terhadap perempuan cantik sepertinya.

"Lagi pula aku sering bantu Kaira bikin PR, bukan ngajak dia main." Kaivan mengedik tak peduli mendengar keluhan Adeline.

"Lagi pula kamu sebagai kakak malah suka ninggalin Kaira, padahal Kaira butuh temen di rumah," keluh Adeline pada akhirnya.

"Lo enggak tau apa-apa. Gue sama Kaira enggak akan bisa makan kalau gue cuma diem di rumah. Jangan samain kehidupan kami berdua sama kehidupan lo yang serba ada." Adeline entah mengapa merasa tak enak hati setelah mendengar ucapan Kaivan.

Walau begitu Adeline hanya memikirkan perasaan Kaira di sini. Dia pernah merasa kesepian, walau semuanya terasa berbeda karena dia merupakan anak orang kaya. Walau begitu saat menjadi Zora Adeline tidak merasakan kebahagiaan sama sekali atas apa yang dia punya.

"Aku enggak berniat nyinggung kamu. Aku cuma kasian Kaira yang selalu kamu larang main dan akhirnya cuma diem di rumah sendirian. Selebihkan itu hak kamu, ayo aku udah selesai." Adeline bangkit lebih dulu, sebenarnya ingin menghindari jawaban Kaivan lebih lanjut.

Dia hanya tak ingin Kaivan merasa tersinggung dengan ucapannya. Walau sebenarnya Kaivan sudah merasakan hal itu sejak awal.

Selama perjalanan Adeline memilih diam, begitu pun Kaivan yang sudah pasti tak ingin banyak bicara. Adeline menghela napas kasar, dia menyadari ucapannya tadi keterlaluan.

"Maaf kalau aku keterlaluan, aku enggak bermaksud ngatur kehidupan kamu. Cuma aku kasian sama Kaira, karena aku pernah di posisi itu dan rasanya bener-bener enggak enak." Kaivan mendengar, tetapi pemuda itu memilih diam tak membalas ucapan Adeline.

"Aku tau kamu sebagai kakak pasti khawatir sama Kaira, aku seneng saat liat ada seorang kakak yang sayang sama adiknya. Aku yakin kamu lebih tau mana yang terbaik untuk Kaira." Setelah itu hanya suara kendaraan serta angin yang mengisi kekosongan mereka.

Adeline diam, dia tak ingin lebih jauh membuat Kaivan merasa tak nyaman. Karena cukup dikehidupannya dulu dia selalu membuat orang lain pergi, sekarang tidak.


***

Adeline kira Kaivan akan langsung mengantarnya pulang. Ternyata salah, Kaivan malah membawanya ke rumah pemuda itu untuk menemui Kaira. Adeline senang, berarti Kaivan tidak begitu mengambil hati ucapannya dan akhirnya menjauhi Kaira dari Adeline.

"Kakak!" Kaira memeluk Adeline erat, bahkan dia tak melirik ke arah Kaivan yang saat ini sedang menatap interaksi Kaira dan juga Adeline.

"Lama banget ke sininya?" tanya Kaira kesal.

"Kakak tadi mampir beli makanan dulu, nih." Kaira yang tadinya cemberut seketika tersenyum lebar dan langsung menerima makanan dari Adeline dengan senang hati.

Dia menggenggam tangann Adeline, membawa Adeline masuk ke dalam rumahnya. Kaivan menggelengkan kepala, mengikuti kedua gadis itu masuk ke rumah. Sepertinya setelah ada Adeline posisi kakak Kaivan terancam. Lihatnya betapa akrab kedua gadis itu, dan menganggap Kaivan tidak ada di sana.

Kaivan senang melihat adiknya bahagia. Dia tersenyum tipis dan memilih masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap kerja. Sepertinya kali ini dia dengan ikhlas membiarkan Adeline menemani adiknya.

"Kak Kaivan kaku banget ya?" bisik Kaira pelan kepala Adeline yang sedang memakan martabak yang baru saja dia beli tadi.

"Kayak kulkas berjalan," tambah Adeline dengan suara pelan, dia menahan tawa saat membayangkan wajah datar Kaivan. Yang sialnya tetap saja tampan.

"Tapi kakak suka?"

Uhuk

Kaira berlari ke arah dapur mengambilkan minum, lalu menyerahkan kepada Adeline yang wajahnya sudah memerah. Kaira merasa bersalah karena hal itu.

"Maaf Kak," ungkap Kaira penuh penyesalan. Sepertinya dia banyak bicara, padahalkan Adeline sedang makan.

"Udah enggaka apa-apa," jawab Adeline.

Adeline terdiam, dia memikirkan ucapan Kaira. Apakah benar dia menyukai Kaivan, atau dia hanya penasaran karena Kaivan begitu mirip dengan Gazza?

Adeline pun tak bisa menemukan semua jawaban itu

Hai kalian apa kabar?
Maaf ya jarang update soalnya aku lagi sibuk banget. Tapi insya allah setelah ini aku bakal rajin update, yuk vote dan komen.

I'm Not Zora (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang