Part 3

32 5 0
                                    

Seminggu berlalu, banyak kenangan tercipta begitu epik di antara Veer dan Haseena. Semenjak bertemu Haseena, Veer seakan melupakan dunianya dan menemukan dunia baru bersama perempuan itu. Bersama Haseena pula, senyuman Veer kembali. Sebab, sekarang dia mempunyai alasan untuk tetap hidup setelah Disha menjadi alasan utamanya untuk mengakhiri hidup.

Karena selalu menghabiskan waktu bersama, Veer menyadari satu hal, dia telah tiba di sebuah ujung perasaan yang pernah mematahkan hatinya. Sebuah cinta sudah datang menyiram harapan kelam yang pernah membuat hatinya tenggelam dan padam.

Seminggu itu pula, Veer menghabiskan waktu menjelajahi agenda liburan yang Haseena miliki seperti menyaksikan fenomena ribuan kupu-kupu yang beterbangan di Butterfly Beach, menaiki kapal untuk menemukan lumba-lumba di Pantai Baga, menemani Haseena berbelanja di Anjuna Flea Market, menikmati sajian kepiting xec xec yang berujung alergi Veer kambuh, dan masih banyak lagi.

Tak sampai disitu. Melihat betapa buruknya penginapan yang Haseena sewa saat dia singgah sebentar. Veer memutuskan untuk menyewakan sebuah vila untuk Haseena. Namun, perempuan itu menolak keras. Veer yang tidak mau Haseena kenapa-napa, mengingat, perempuan itu pernah digoda salah satu penghuni penginapan, Veer diam-diam memindahkan semua barang Haseena ke vila tempat yang pernah dia sewakan sebelumnya. Pada akhirnya, Haseena menyerah dan tinggal di vila tersebut. Apalagi, Veer menawarkan gudang belakang vila untuk dijadikan galeri lukis, tentu Haseena tidak menolak tawaran tersebut. Karena sudah lama sekali dia ingin kembali melukis setelah vakum bertahun-tahun.

Dan malam ini ...

Hujan membawa warna tersendiri dalam lukisan yang masih setengah jadi. Lukisan seorang perempuan dengan rambut yang terurai diterpa angin berukuran cukup besar itu sontak menarik perhatian seorang pria berjaket kulit cokelat. Tetesan air hujan di luar sana membuat kepala dan beberapa bagian tubuhnya basah.

Veer yang baru datang lekas meletakkan buket bunga di atas meja. Karena tidak mau menganggu Haseena yang tengah melukis, dia sama sekali tidak bergeming untuk beberapa saat.

Kilatan cat warna-warni tercipta di dinding-dinding usang usai tangan lihai itu menggoreskan kuas ke kanvas lukis. Perempuan yang duduk di tangga berbentuk A belum menyadari kehadiran Veer.

Senyum merekah indah di tengah hamparan udara dingin yang mengepung pori-pori. Perempuan itu beranjak turun dari atas tangga, tapi tidak dengan bola matanya yang berwarna kecoklatan, kedua matanya tak beralih mengamati setiap detail lukisan yang hampir mendekati sempurna. Sekalipun dia tidak berbalik, sebenarnya dia mengetahui kehadiran Veer.

Setibanya di anak tangga terakhir, sebelum kedua telapak kaki menyentuh lantai yang dingin, jaket kulit cokelat mendarat di kedua bahu, memberi kehangatan.

"Bagaimana? Indah, bukan?" tanya Haseena menunjuk dengan ujung kuas. Dia menoleh, mencari tahu reaksi yang diberikan Veer.

"Hem ... aku kira, itu ide yang buruk."

Karena pernyataan itu, Haseena merenggangkan jarak. "Buruk? Kenapa? Tidak biasanya kau tidak memuji lukisanku."

Pria itu mengumbar senyuman. "Dengar, untuk apa kau melukis dirimu sendiri, sedangkan aku lebih suka memandang dirimu yang asli, tanpa sentuhan apapun."

Haseena memangku dagu. "Suatu saat, kau akan tahu betapa berharganya waktumu hanya dengan memandang lukisan ini. Mungkin saja, kau akan bernyanyi dengan latar lukisan ini, lihat saja nanti."

"Tentu." Pria bernama lengkap Rajveer Hirani itu melangkah mundur, menyambar sebuah gitar yang sengaja dia tinggal di galeri lukis Haseena. "Untuk apa aku harus menunggu nanti, jika detik ini juga aku bisa melakukannya untukmu?"

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now