Part 13

14 2 0
                                    

Perut Haseena berbunyi memecah hening. Veer menoleh, dia tidak berucap sepatah kata apapun dan langsung menepikan mobil ke sebuah restoran. Dari dalam mobil saja bisa dilihat, restoran itu penuh dengan pengunjung lokal maupun mancanegara.

Veer merogoh dompet, mengambil beberapa rupee dan diberikan pada Haseena.

“Belilah makanan yang kau inginkan. Aku tidak bisa ikut, ada banyak orang di sana. Kau paham ‘kan maksudku?”

“Ti-tidak usah. Aku bisa memakai uangku sendiri.” Kemudian, Haseena menggeledah tas. Cukup lama, terlihat wajahnya berubah panik. “Astaga, aku meninggalkan dompetku.” Ujarnya menepuk kening.

“Apa jadinya jika kau naik kereta dan tidak membawa dompetmu? Kau sungguh ceroboh. Sudah, ambil dan pesan makanan.” Veer menyodorkan lebih dekat.

Meskipun tidak enak hati, Haseena terpaksa menerima uang itu. “Terima kasih. Nanti, aku akan mengembalikan uang ini. O iya, kau mau kupesankan apa?”

“Terserah kau saja.”

Haseena mendengus kesal. “Jangan terserah, siapa tahu kau selera kita berbeda.”

“Aku percaya dengan pilihanmu.”

“Baiklah. Aku akan segera kembali.”

Perempuan itu keluar. Seketika suasana di dalam mobil senyap. Veer yang bosan membuka laci dashboard. Semula, dia ingin mengambil ponsel yang sengaja dia sembunyikan, tetapi sebuah benda mengalihkan tujuannya.

Veer menatap penuh buku harian yang dia pegang. Dibuka halaman pertama, dia sudah membacanya ribuan kali. Dia beralih ke tulisan tangan Haseena yang tersusun rapi.

“Aku menemukanmu. Tapi kau ... telah menjadi milik orang lain. Lucunya, aku malah mengantarmu menemui kekasihmu itu.” Veer membalikkan ke halaman berikutnya. Di sana tergambar sketsa wajah Haseena.

Semula, dia tidak langsung percaya bahwa perempuan yang dia ajak pergi sekarang adalah perempuan yang sama seperti di sketsa itu. Secara, di gambar itu terpampang perempuan dengan rambut terurai, sedangkan Haseena yang bersamanya sekarang? Ditambah, sketsa itu tidak sedikit sulit dimengerti karena hanya berupa coretan bolpoin tak beraturan.

Veer kembali mengulurkan tangan ke dalam dashboard, mengambil ponselnya yang telah dinonaktifkan.

“Ah, tidak, tidak. Aku yakin, Pak Vikram tidak tinggal diam untuk menemukanku. Bisa jadi, dia berencana melacakku.” Veer mengembalikan ponsel dan buku hariannya ke dashboard. Mengingat, Haseena sudah keluar dari restoran menenteng totebag.

Pintu dibuka. Haseena masuk, lalu memberikan satu totebag pada Veer.

“Maaf membuatmu menunggu. Aku memesankanmu roghan josh, karena aku tidak tahu kau seorang vegetarian atau tidak, aku juga memesan Veg biryaani, modhur pulov, hyderabadi biryaani , matschgand, rista, dan beberapa snack. Sampai lupa, aku juga memesan beberapa jenis minuman seperti teh hijau Kashmir, sheer chai, ada kopi.”

Sembari mendengarkan celotehan Haseena, Veer mengeluarkan satu persatu makanan dari dalam totebag. Dia geleng-geleng saja mengetahui kelakuan Haseena yang memesan banyak makanan untuknya.

“Jangan protes dulu. Kau tidak memberiku pilihan. Karena aku bingung, jadi ya ... aku memesan beberapa menu.”

“Tidak masalah. Jika tidak habis, kita bisa memakannya nanti. Ayo kita pergi, aku tidak mau ada orang yang mengenaliku.”

“Memangnya kita tidak makan dulu?”

“Nanti saja. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”

“Baiklah,” balas Haseena semangat penuh.

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now