Part 5

30 3 0
                                    

Hati sepasang kekasih yang baru mengikat janji suci pernikahan bak terbang melayang di lautan udara malam itu. Ada banyak omong kosong yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan. Sesekali, saat candaan mampir, mereka akan tertawa hebat, membuat perut kosong mereka keram sesaat.

Mengurai kesunyian malam di saat mobil mereka menyeberangi lautan pepohonan, Veer menyetel lagu dari ponsel, tak lupa mengeraskan volume tinggi-tinggi. Veer berdendang riang sembari memainkan setir, alhasil, mobil bergerak zig-zag. Haseena tak mau ketinggalan, dia mengambil bagian penyanyi wanita yang bermain di dalam lagu tersebut. Veer cukup syok mendengar suara istrinya yang menurutnya cukup bagus, hanya tinggal dipoles dengan banyak latihan saja.

"Seharusnya kau ikut ajang bernyanyi, Haseena. Aku yakin, kau akan menjadi pemenangnya," ucap Veer.

"Tidak, tidak, tidak. Aku lebih senang bernyanyi untuk diriku sendiri."

"Diri sendiri? Jika kau tidak bernyanyi untuk orang lain, setidaknya, biarkan dunia menyembunyikan suaramu hanya untukku." Veer menggapai tangan Haseena, memberi tatapan manis.

Kini, keduanya larut dalam lagu yang mengalun lembut, bahkan, suara penyanyi asli lagu itu serasa tersaingi dengan duet keduanya.

"VEEERR!" Haseena menjerit sembari menunjuk panik ke arah samping suaminya.

Belum sempat menoleh, mobil bagian samping kanan sudah diseruduk kap depan sebuah truk. Haseena menjerit, menambah suasana semakin mencekam. Mobil mereka terdorong keluar jalur, membentur pembatas jalan cukup keras sebelum akhirnya berputar arah tanpa kendali. Serangan rasa sakit datang bertubi-tubi tatkala dua kekasih itu terpontang-panting tak berdaya menghadapi nasib buruk.

Takut menghadapi hukuman, supir truk yang menyeruduk mobil Veer dan Haseena itu buru-buru melarikan diri ke dalam hutan. Tanpa rasa bersalah, dia tidak berbalik arah sekadar menyelamatkan keduanya. Rasa takutnya jauh meningkat seiring pengguna jalan mulai berhenti melihat apa yang terjadi.

Semuanya hancur. Mimpi untuk menyalakan bahagia padam seketika diiringi cucuran air mata langit yang turun perlahan.

Beberapa pengguna jalan yang mendapati kecelakaan menghentikan mobil mereka di sembarang jalan. Para penumpang di dalamnya berduyun-duyun mencari tahu apakah gerangan yang terjadi hingga menimbulkan kerumunan. Namun, dari banyaknya orang yang berkumpul di sisi mobil Mercedez itu, tak ada satu pun orang yang berani menolong satu pun korban kecelakaan itu. Beruntunglah, ada seseorang yang berbaik hati melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian dan menelepon ambulan.

Bibir mereka semakin bergemuruh di tengah keheningan malam dengan berbagai tanya dan jawab yang tak pasti. Tak lama kemudian, suara mereka terkalahkan oleh suara sirine ambulan dan mobil polisi yang sudah tiba di tempat kecelakaan itu terjadi. Petugas medis dan dua orang polisi segera merapat ke kerumunan, melakukan tugas mereka masing-masing.

Haseena sempat membuka mata, dengan pandangan setengah buram, dia menoleh ke tubuh Veer yang tengah dievakuasi oleh petugas medis. Dia tersenyum sepersekian detik.

"Mungkin ... saya tidak akan kembali atau berbalik arah dan menanyai kabar Anda lagi. Anda adalah kekasih yang saya pintakan dalam setiap doa. Meskipun kisah kita tidak lengkap, saya berdoa, Tuhan akan melengkapi format kisah yang sedikit berantakan ini dengan sebuah pertemuan di lain waktu. Saya ... saya tidak akan memaksa Tuhan menghentikan apa yang telah terjadi. Jika ini kemauan Tuhan, saya akan terima, sekali pun menghilang membawa cinta Anda ke dalam kematian. Mari berbahagia bersama ...."

Kesadaran Haseena berada dalam ambang batas. Dia menarik diri dari dunia nyata. Hanya suara-suara orang di luar kesadarannya yang terdengar, tapi tidak dengan rintihan kesakitan yang dia alami. Semua rasa sakit kini membersamainya melalui pintu alam yang membawa nyawanya setengah mati.

Mereka dipisahkan. Mereka saling dipisahkan sekarang. Ambulan yang membawa Veer melaju beriringan dengan ambulan yang membawa Haseena. Di bawah serangan hujan malam itu, hanya bait-bait doa yang menemani keduanya.

***

Hujan kembali menghadirkan perasaan berkecamuk di dada pria berkaos abu-abu yang tengah merentangkan tangan, menangkap serbuan hujan yang mendera seluruh tubuhnya. Di atas panggung outdoor itu, dia menutup mata, menangkap bayang-bayang kerinduan tanpa nama yang satu tahun ini selalu datang tiba-tiba.

"Siapa Anda? Mengapa Anda begitu lancang mengusik saya dengan kerinduan yang sangat menyakitkan?"

"Veer! Apa kau akan disitu semalaman?" Pria yang baru membuka payung hitam mendekat ke Veer yang berada di tepi panggung.

Veer menurunkan kedua tangan, menoleh tidak selera. "Ini hanya hujan, aku tidak akan mati karena kehujanan, Karan," ujarnya pada sahabat sekaligus sang manajer.

"Kurasa, kau akan mati kedinginan, apa kau tidak menyadari, setiap kali hujan, kau akan hujan-hujanan berjam-jam. Sepertinya, saat kau tidur dan di luar sedang hujan, kau akan bermain hujan sekali pun sedang tidur," gurau Karan. "Hari ini kau baru selesai konser, kau butuh istirahat. Ayo!"

Karan berbalik arah, mengajak Veer kembali ke mobil. Namun, langkahnya tertahan saat menyadari pria di sampingnya tak ikut beranjak.

"Ck!" Karan mundur lagi. "Kau mau aku dipecat, ha? Ayolah, ini sudah larut malam untuk memikirkan perempuan yang bahkan tak pernah ada di dunia ini."

Veer menurunkan wajahnya yang basah, mengusap rambutnya ke belakang.

"Ya. Kau benar." Veer menepuk pundak Karan. Lalu merampas payung yang dipegang Karan dan berlalu. Jadilah, Karan lari kocar-kacir menghindari derasnya hujan.

"Veer, awas kau!" pekik Karan mengejar Veer yang sudah jauh meninggalkannya.

Baru saja sampai di sebuah tenda, Karan langsung disambut lemparan handuk basah dari Veer. Karan hanya mengelus dada sembari meletakkan handuk itu di punggung kursi. Melihat sebotol wine yang diteguk dengan santai oleh Veer, Karan geleng-geleng saja. Dia mengambil kursi terdekat dan duduk berhadapan dengan kursi Veer.

"Sampai kapan kau akan menyiksa diri seperti ini?"

Veer meneguk sebentar, kemudian menimpali. "Siapa yang kau bilang menyiksa diri?" Dia memukul pelan lengan Karan dengan botol wine. "Ini kesenangan."

"Kesenangan atau kesengsaraan? Veer, aku pikir setelah kau mengasingkan diri dan pulang membawa kabar kecelakaan, kau akan berubah pikiran untuk tidak lagi menyiksa diri seperti ini."

Veer menarik satu sudut bibir. "Apa yang harus kuubah? Kenyataanya memang seperti ini, bukan? Perempuan itu ... lebih memilih pria tak tahu diri itu."

"Ini sudah satu tahun berlalu dan kau masih menjadikan perempuan itu sebagai alasan kehancuranmu?" Karan menepuk lutut Veer. "Hei, dengar. Di luar sana, ada banyak perempuan yang lebih baik darinya mengharapkanmu. Apa kau hanya akan menunggu kehancuranmu datang, Veer?"

"Aku tidak hancur, Karan. Aku sudah hancur, sehancur-hancurnya. Kau tahu? Semenjak terbangun dari koma, aku dihancurkan dari sini." Veer menunjuk dada. "Disha. Dia bukan satu-satunya alasan kehancuranku saat ini. Aku seperti merasa, ada hal yang tidak aku ketahui jawabannya mencoba membunuhku perlahan dengan kesedihan dan kerinduan. Tapi, aku tidak tahu kesedihan dan kerinduan untuk siapa yang aku terima. Pagi, siang dan malam, seluruh tubuhku bertanya, apa yang telah meninggalkanku? Sehingga aku sehancur ini."

Karena sama-sama tak tahu jawaban apa yang dipertanyakan Veer, Karan menggeleng pelan.

"Lupakan sebentar soal itu. Ada banyak jadwal manggung yang harus kau lewati esok." Karan menepuk-nepuk lengan Veer yang kembali melumasi tenggorokannya dengan wine.

Veer mengangguk singkat, lekas dia meletakkan botol wine yang sudah kosong itu ke pangkuan Karan. Tanpa berpamitan, Veer keluar tenda dan kembali memanjakan seluruh tubuhnya bersama hujan.

"Aku rasa, saat Veer kecelakaan, otaknya itu juga ikut bergeser." Karan tidak banyak berbuat selain menegur dan menegur temannya itu. Dia tidak berani mengambil langkah lebih jauh, karena dia tahu temannya itu seperti apa.

***

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now