Part 15

15 2 0
                                    

Diberikannya buku harian bersampul coklat itu. “Aku sedang tidak berminat menggambar. Lain kali saja, ya? Lagi pula, kau kemana saja? Kau ingin aku menggambarmu apa menggambar bayanganmu?”

Veer mengambil balik bukunya. Dia belum menarik kesimpulan apakah Haseena sudah ingat tentang dirinya apa belum. Secara, dia tidak melihat reaksi yang dia harapkan. Setidaknya, perempuan itu memberinya pelukan hangat atau pertanyaan mengenai isi buku harian itu.

“Em, kau tidak ingin bertanya sesuatu?” tanya Veer.

“Bertanya tentang apa?”

“Ya ... apapun. Mungkin ada yang mengganggu pikiranmu sekarang.”

Haseena malah bertingkah tengah berpikir keras. “Apa, ya? Sejauh ini tidak ada. Justru aku mencarimu kemari karena ingin memberitahu kalau Yasser tidak jadi menjemputku di sini. Dia sudah mengirimiku alamat rumahnya, dia memintaku datang ke sana.”

Veer menggeleng heran. “Kekasih macam apa dia itu? Kekasihnya jauh-jauh datang dari Mumbai, tapi dia berbuat seenaknya.”

“Ah, tidak apa. Em, kalau kau ada keperluan lain yang harus kau urus, kau bisa pergi, aku akan mencari kendaraan umum. Mengantarku sampai sejauh ini saja aku sudah sangat berterima kasih,” tukas Haseena menarik senyum tipis, tapi manis. 

“Kau menyuruhku pergi? Mana mungkin aku membiarkan seorang perempuan malang sepertimu pergi sendiri? Masuklah! Aku akan mengantarmu ke sana.”

“Ta-tapi?”

Veer yang semula hendak beranjak berhenti, setengah menoleh. “Masuk.”

Senyum Haseena mengembang sempurna. “Terima kasih,” ujarnya girang. Dia tidak menyangka penyanyi ternama seperti Rajveer Hirani memiliki hati yang baik untuk perempuan biasa seperti dirinya.

Keduanya melanjutkan perjalanan, melalui jalan yang mengular di sebuah perbukitan. Mobil mereka beberapa kali melewati resort-resort mewah yang menyuguhkan pemandangan Kashmir yang menghijau dari atas bukit.

“Sebelum kita berpisah. Ada yang ingin aku sampaikan.” Veer sedikit menoleh, lalu beralih ke depan, secara, jalanan yang mereka lewati bukan jalanan yang mulus.

“Katakan.”

“Kau sungguh tidak ingat sesuatu setelah membaca buku itu?”

Haseena mengernyit. “Ingat? Ingat apa? Aku tidak ingat apa-apa.”

Kedua bola mata Veer tertunduk, tercantum sebuah harapan yang pupus sekaligus amarah yang menggebu.

“Sungguh?!” Sikap Veer berubah tegas. Dia bahkan tidak melirik Haseena sama sekali. “Tolong! Jangan berpura-pura lagi, Haseena.”

“A-apa maksudmu, Veer? Kenapa tiba-tiba kau membentakku seperti ini? Aku sungguh tidak ingat apapun. Memangnya, apa yang perlu kuingat, ha?”

Veer yang geram mengerem laju mobil. Menoleh dengan tatapan tajam nan menyakitkan. 

“Kita. Kau dan aku!” tandas Veer.

Haseena menggeleng pelan bersama seluruh tubuh yang bergetar karena bentakan Veer. Sekuat hati, Haseena memberanikan diri menoleh, menemui tatapan sengit Veer.

“Apa yang pernah terjadi di antara aku dan kau, ha?! Coba, jelaskan padaku? Jelaskan!”

“Untuk apa aku harus menjelaskan apa yang sudah kau ketahui?” sarkas Veer.

Haseena memejamkan mata sesaat guna menurunkan intensitas emosi. “Dengar, Rajveer Hirani. Aku akui, selama perjalanan ini, ada banyak hal yang mengusik pikiranku. Terutama tentangmu, beberapa kali kau mengatakan perkataan yang seolah pernah aku dengar sebelumnya. Tetapi, aku menganggap hal itu sebagai sebuah kebetulan.” Intonasi suaranya mulai landai. Tatapannya lurus ke depan.

“Saat aku mendengar kau bernyanyi malam itu, aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin kau menyanyikan lagu yang memiliki lirik yang sama dengan puisi buatanku? Padahal, aku tidak pernah memberitahumu. Aku tahu, Hania pernah menyanyikan lagu dengan lirik itu, tapi kau menyanyikan lagu dengan lirik yang sempurna.”

“Lalu ....” Tatapan Haseena layu. “Tulisan di buku harian itu –“

Ponsel Haseena mendadak berdering, memecah suasana tegang yang berkecamuk. Haseena mengangkat ponsel. Itu panggilan dari Yasser.

“Ha-Haseena. Ce-cepatlah kemari,” tukas Yasser di seberang sana dengan suara serak.

“Yasser, ada apa? Kenapa suaramu ... apa ada masalah?”

“Cepatlah datang ... a-aku mo-hon.”

“Aku sedang dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar, aku akan datang.” Usai itu, Haseena menoleh. “Aku tidak bermaksud menyuruh, tapi bolehkah aku memintamu untuk mempercepat mobil ini? Yasser menyuruhku untuk segera datang.”

Veer tidak menanggapi dan langsung melakukan permintaan Haseena. Meskipun, Veer kesal luar biasa karena tidak puas dengan penjelasan Haseena, ditambah telepon sialan yang mencegat ucapannya, tetapi Veer tidak bisa melihat perempuan yang dia cintai dirundung kekhawatiran.

Kini, suasana membeku, menciptakan kepingan kabut gelap yang membentengi senyum keduanya. Hanya deru napas yang saling bersahutan. Beberapa kali, Haseena menyuruh Veer menghentikan mobil untuk bertanya ke penduduk lokal di manakah rumah Yasser. Veer hanya menurut saja tanpa banyak bicara. Haseena menghiraukan sikap Veer itu, karena dia tahu, kekasihnya  sedang tidak baik-baik saja.

Untuk terakhir kalinya, Haseena bertanya ke salah seorang pria tua yang tengah mengembalakan domba mengenai rumah Yasser.

“Rumah Nak Yasser berada di sebelah rumah itu.”

“Oh, terima kasih, Paman. Kalau begitu saya permisi. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu.”

Haseena kembali masuk, lalu menutup pintu. “Rumah Yasser –“

Veer menyela. “Aku sudah mendengarnya.” Kemudian, dia menginjak gas dalam-dalam, dia tahu, perempuan di sebelahnya sedang tidak tenang sejak mendapat telepon dari kekasihnya.

Kini, mobil hitam yang menemani perjalanan Haseena telah berada di tujuan akhir.

“Apa kita bisa bertemu lagi?” Pertanyaan itu sontak membekukan pergerakan Haseena yang hendak mencopot sabuk pengaman.

“Tentu. Bahkan, aku belum melunasi hutang dan rasa terima kasihku. A-aku harus pergi sekarang.” Dia bergegas mecopot sabuk pengaman, kemudian turun membuka pintu belakang untuk mengambil tas.

Haseena menetap di sebelah jendela, dia sedikit menunduk. “Sekali lagi terima kasih.”

Veer hanya memberi anggukan kecil tanpa melirik satu centi pun. Bola matanya tak berhenti mengikuti langkah Haseena memasukki pelataran rumah dengan hamparan rerumputan hijau dan pohon-pohon pinus di sekitar. Dia memutar kunci, mematikan mesin mobil, dan turun. Dia tidak bisa melewati satu detik tanpa memastikan perempuan itu baik-baik saja.

Hempasan napas panjang nan berat menyembul dari kedua lubang hidung. Dia menyebut nama perempuan itu dalam sebuah senyuman. Sebuah senyuman menyedihkan.

Veer tepat berdiri di depan rumah yang khas bernuansa  Kashmir. Dia menarik langkah, memasang jarak dengan kekasih hati.

“Jarak hati yang sempat menyembuhkan kerinduanku kembali datang. Bawa aku kembali  ke tempat aku menemukanmu. Aku ingin di sana, merangkai kisah cinta tanpa ada perpisahan menyalakan kesedihan. Apa ini? Kehendak siapa yang memberikan kembali jarak di tengah pertemuan kita? Sehingga aku menjadi sehancur ini?”

“VEERRR!”

Spontan, Veer berbalik arah setelah mendengar jeritan Haseena. Jeritan sama yang membawakan kepingan puzzle memorinya di hari kecelakaan keduanya. Terekam dengan jelas di otaknya detik-detik mobil yang mereka tumpangi dihantam sebuah truk. Dalam kegelapan malam, mobil itu porak-poranda setelah mendapat hantaman. Saat itu, mungkin Veer tidak bisa berlari dan menyelamatkan Haseena dari rasa sakit. Tapi tidak sekarang. Dia berlari dengan sangat panik ke dalam rumah itu.

***

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang