Part 16

12 1 0
                                    

Veer menendang daun pintu tanpa aba- aba. Napasnya naik-turun mendapati   wajah perempuan yang dia cintai babak belur karena ulah seorang pria berbadan kekar. Pria itu kini menyandera Haseena. Veer semakin geram tatkala mengetahui Yasser tergeletak tak bernyawa setelah mendapat luka tembak di kepala.

“Veer,” ucap Haseena dalam tangisnya.

“Lebih baik kau tidak usah ikut campur. Atau kau ingin bernasib sama dengannya?!” kata pria berbadan kekar menunjuk tubuh Yasser yang bersimbah darah.

Kepalan tangan Veer makin menguat. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyerang pria yang telah melukai Haseena.

“Aku sudah memperingatkanmu. Dasar keras kepala!” cecar Yash –pria yang sebelumnya ingin menikahi Haseena.

Melihat Veer yang bergerak menghampirinya, Yash main mendorong Haseena yang sudah lemah itu ke lantai hingga tergeletak tepat di samping mayat Yasser. Pertarungan hebat terjadi dan ikut memporak-porandakan seisi rumah.

Haseena menggerakkan badannya yang terasa  berat untuk sedikit lebih dekat dengan Yasser. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya, rumah impian dengan jutaan kebahagiaan yang telah mereka rencanakan hancur sebelum dibuat.

Dalam tangisnya. “Bangun, Yasser. Kau ingin melihatku memakai pakaian pengantin ‘kan? Bagaimana kau bisa melihatku memakai riasan dan perhiasan yang kau belikan jika kau tidak bangun?” Haseena menyeka air  pipinya yang membiru. “Kau tidak bisa meninggalkan aku seperti ini, Yasser. Tolong, bangun!”

Haseena tidak berhenti menggoyang-goyangkan punggung Yasser, berharap masih ada harapan yang akan dia temui. Tapi tidak ada kesempatan yang dia miliki untuk melihat senyum Yasser.

Di sisi lain, Veer bertarung habis-habisan dengan Yash yang tidak jua tumbang, meskipun dia sudah berkali-kali melayangkan serangan. Tidak mau membuang waktu, Yash memberi tatapan seakan mengode tiga anak buahnya untuk membawa Haseena.

Veer yang menyadari siasat jahat Yash  menghadang dengan berdiri tepat di depan Haseena.

“Berapa hutang yang harus Haseena bayar, aku akan melunasinya tanpa kalian harus membawanya,” tutur Veer.

Yash tertawa terbahak-bahak, mengejek. “Apa kau sedang bertanya  berapa harga yang harus kau bayar untuk perempuan itu?”

“Katakan saja berapa hutang Haseena!” pekik Veer. Dia menarik dompet di saku celana, mengambil sebuah kartu ATM dan melemparkannya ke Yash. “030405, itu pin-nya. Di situ ada nominal uang yang bisa kau buat mencuci wajahmu yang menyeramkan itu.”

Yash memungut kartu ATM dari lantai. Dia tidak menerima cemoohan Veer, tapi dia juga tidak akan menolak isi rekening itu. Mengingat, Rajveer Hirani adalah salah satu penyanyi dengan honor yang cukup mahal.

“Sekarang dia milikmu.” Yash mencium kartu ATM. “Dan ini milikku. Selamat bersenang-senang. Ops! Maksudku, berduka cita.”

Haseena tidak tinggal diam akan keputusan Veer yang main melunasi hutangnya. Bukan itu yang dia inginkan. Dia mengira, Veer bisa membalaskan dendamnya atas kematian Yasser, tapi yang ada hanyalah ....

Haseena bangkit, langkahnya terseok-seok menahan Yash dan anak buahnya di depan pintu. Dia menyerobot kartu ATM di tangan Yash. Tanpa ragu, dia mematahkan kartu ATM itu.

“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan begitu saja kepada orang lain.” Dia melempar kepingan kartu ATM ke lantai.

“Dasar wanita bodoh!” Yash mengayunkan kepalan tangannya ke arah Haseena.

***

Tandu diangkat ke pundak. Bersama ketiga warga sekitar, Veer memikul tubuh Yasser yang bersemayam di dalam keranda berselimut kain hijau dan rangkaian bunga. Pandangan Veer lurus ke depan, menyelaraskan langkah dengan yang lain.

Setelah menempuh lima menit melewati jalan setapak. Semua orang yang hadir menyegerakan prosesi pemakaman Yasser bersebelahan dengan makam sang ibu. Ya. Peristiwa mengerikan itu tidak hanya merenggut nyawa Yasser, tapi juga nyawa seorang ibu yang turut merasakan sakit luar biasa tatkala putranya dihabisi iblis berwujud manusia.

Prosesi pemakaman selesai dilakukan. Doa-doa dipanjatkan beriringan. Lalu, satu persatu dari mereka beranjak dari makam Yasser dan ibunya, kecuali Veer. Pria itu mengusap pusara Yasser, meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak bisa menyelamatkannya.

“Andai waktu itu aku tidak berhenti di tengah jalan dan memperdebatkan pertanyaanku, aku pasti bisa menyelamatkanmu. Maaf, maaf.” Veer mengusap air mata yang bersarang di tulang hidung bagian atas. “Kau tahu, Yasser. Sekarang, Haseena hancur. Tidak ada yang dia inginkan selain dirimu. Dunianya yang berwarna ikut kau bawa pergi.”

Veer mengangkat kedua tangan, memanjatkan doa agar Yasser diberi ketenangan di alam sana.

Sepulang dari makam Yasser dan ibunya, Veer menghampiri Haseena yang sudah duduk di samping kursi kemudi. Tatapan perempuan itu tampak kosong, tapi tidak dengan pikirannya yang masih menyimpan serpihan kehancuran.

“Kita berangkat sekarang,” kata Veer.

Bahkan, ucapan Veer hanyalah angin lalu bagi Haseena. Dia sudah lelah, lelah menerima kenyataan pahit yang menyambut kedatangannya di rumah sang kekasih. Memang, Yash sudah diproses hukum dan kemungkinan besar akan dijatuhi hukuman setimpal setelah para warga menyergap ke kediaman Yasser ketika situasi semakin mencekik. Namun tetap saja, hukuman itu tidak sebanding dengan apa yang Yasser dan ibunya terima.

Berbanding terbalik. Itulah kata yang tepat untuk memulai suasana di antara Veer dan Haseena. Mereka berangkat dengan percakapan penuh tanya jawab. Sekarang, mereka pulang dengan percakapan tanpa tanya atau pun jawab. Veer sengaja ikut membisu. Dia yakin, Haseena butuh waktu untuk menerima semuanya. Apa yang baru saja terjadi bukanlah hal yang mudah dia terima. Secara, dia kehilangan kekasihnya.

“Kau pasti lapar. Bagaimana jika kita mampir sebentar ke restoran?” Veer berniat mengalihkan sorot mata Haseena yang sesak.

Haseena mengangguk saja, lalu menyandarkan kepala ke kaca jendela yang mengembun. Dia kembali melamun.

“Saya ikut hancur dengan kehancuran yang Anda terima, Haseena. Apa saya bisa menyelamatkan senyum Anda yang tenggelam dalam duka?”

Mobil hitam itu berjalan menuruni kelokan, membelah kerumunan angin yang beterbangan tanpa arah. Kilauan cahaya matahari yang semakin menjauh menciptakan rona orange. Hamparan padang rumput dan pohon-pohon yang menjulang tinggi menghiasi kanan-kiri jalan. Perempuan itu sama sekali tidak tertarik melihat apa yang tersaji di luar sana. Kekagumannya benar-benar direnggut oleh kepergian orang yang dia sayangi.

“Semula, ini kisahku yang kehilangan dirimu. Tapi sekarang, ini akan menjadi kisahmu melawan rasa sakit atas kehilangan seseorang yang kau cintai.”

Dari jarak yang tak jauh, Veer melihat sebuah masjid. Dia sengaja menepikan mobil di depan bangunan bercat putih dan hijau itu.

“Berkeluhkesahlah kepada Tuhan. Hatimu hanya akan semakin hancur membawa beban berat di kepalamu.”

Untuk pertama kalinya, ucapan Veer itu direspon, walaupun dengam seutas senyuman. Haseena mengangguk, melepas sabuk pengaman dan turun.

Haseena mengitari depan mobil, lalu berdiri di samping pintu kemudi. Dia mengetuk jendela beberapa kali. Perlahan, kaca jendela turun.

“Kupikir, bukan hanya aku yang membawa beban berat ini. Ikutlah denganku,” ucap Haseena dengan suara lembut.

Veer tersenyum, lama tak mendengar suara perempuan itu.

***

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now