Part 18

14 1 0
                                    

Seharusnya, aku tidak mendapatkan nasib buruk ini, Haseena. Aku berpikir, setelah bertemu dan melukis kembali ingatan yang kosong bersamamu, aku akan menemukan kembali hidupku. Sekarang, aku dalam kehancuran untuk sekali lagi menyapa perpisahan dengan senyum kepalsuan. Apa? Apa yang kau dapat dari perpisahan ini? Aku bernapas, tetapi, aku tidak merasa hidup. Kemana angin membawamu pergi? Arahkan aku untuk sekali lagi menemukanmu, menemui tatapan manis dan senyummu yang menebarkan aroma wangi itu ...

Chennai yang menenggelamkanku dalam pencarian panjang hanya bisa memberi tawa paling keras. Kau tidak ada di kota itu, bahkan namamu tidak  kudengar dari mulut orang-orang.

Chennai yang menjatuhkanku dalam harapan kosong. Haseena ... kau tidak ada di kota itu ... di mana akan kutemui dirimu? Mengapa kau berbalik arah dariku? Mengapa?

Sebuah telapak  tangan mendarat di  bahu Veer yang tengah  menikmati lambaian ombak ditemani sebotol wine. Karan langsung menduduki hamparan pasir yang dingin, tepat di sebelah Veer.

“Aku pikir ... patah hati hanya datang sekali. Ternyata aku salah, hatiku sepenuhnya tenggelam dan mati.” Veer bahkan tak menengok, pandangan matanya lurus. “Ini jauh lebih mengerikan daripada cintaku yang ditolak oleh Disha. Separuh nyawaku seperti ikut pergi bersama Haseena. Ikatan apa ini? Aku selalu merasa, Haseena tidak pernah pergi dariku, dia bersamaku, bahkan di saat mataku tak melihatnya, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku selalu tahu, dia ada bersamaku, menghiasiku dari kejauhan. Ya ... mungkin saja ‘kan?”

“Tiga bulan belum waktu yang lama. Kau masih bisa menemukan Haseena.” Karan menggeleng. “Bukan menemukan. Kalian akan bertemu. Seperti halnya kail dan ikan, kau hanya tinggal memancingnya keluar dengan umpan yang dia sukai.”

Sontak, Veer menoleh. “Umpan?”

Karan mengangguk-angguk kecil. “Siapkan umpan terbaik. Jika memang Haseena  terhubung denganmu, pasti dia akan datang dengan sendirinya. Aku yakin, bila Haseena juga mencintaimu, dia tidak mungkin benar-benar pergi. Seperti yang kau katakan, dia hanya hilang dari penglihatan mata, tapi tidak dengan hati.” Karan menunjuk dada Veer.

Kata ‘umpan' yang Karan ucapkan menjadi buah bibir di pikiran Veer. Dia  terus mencari umpan apa yang bisa dia gunakan untuk memancing Haseena keluar.

“Um-pan ....”

“Suatu saat, kau akan tahu betapa berharganya waktumu hanya dengan memandang lukisan ini. Mungkin saja, kau akan bernyanyi dengan latar lukisan ini, lihat saja nanti.”

Bola mata Veer mengembang sempurna, seolah ada lampu yang menyala di atas kepala. Dia tersenyum sepersekian detik, menghiasi sebuah ide cemerlang yang muncul tanpa permisi.

***

Kesunyian menjalari jiwa yang enggan beranjak dari ayunan. Kedua pipinya memerah bukan karena tersipu malu, melainkan amarah yang menggebu. Ponsel yang berada di tangan dilempar begitu saja ke pojok ayunan. Kedua lengannya terlipat di depan dada dengan bibir mengerucut.

“Tega sekali dia membakar lukisan yang susah payah kubuat.” Jari jemarinya yang lentik mengambil kembali ponsel. Dia membuka sebuah foto di galeri. “Kulihat, kau sangat menikmati pertunjukkannya, Tuan! Bisa-bisanya kau membuat video klip semengerikan itu, mabuk-mabukan, bermesraan dengan wanita-wanita yang memakai pakaian tak sopan, kau pikir aku ini siapamu, ha?!” Sambil menunjuk geram foto Veer di layar ponsel.

Haseena mendengus kesal. Dia tidak berdaya. Sekali pun dia memarahi foto Veer jutaan kali, ucapannya tidak akan pernah didengar. Dia hanya dapat memeluk wajah Veer di galeri ponsel.

Kita telah dikalahkan oleh jarak. Entah siapa yang melukiskan jarak semacam ini hingga kita terpisah dalam ruang ingatan yang kosong. Andai saja kecelakaan itu tak pernah terjadi, kebahagiaan pasti sudah menghuni di rumah kecil kita, Veer.

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now