Part 20

10 3 0
                                    

“Kau adalah pilihan yang buruk bagi Veer. Saya tidak akan membiarkan emas yang susah-payah saya tambang jatuh ke tangan orang yang tidak tepat. Tidak masalah bila Veer memilih Anda, tapi saya pastikan, dalam satu kedipan, dunia Veer yang terang-benderang akan padam seperti saat dia berada di jalanan. Nama besarnya bahkan akan menjadi sampah di mata masyarakat. Tapi ... bila Anda meninggalkan Veer, saya pastikan, sekali pun Veer jatuh, saya akan membuatnya kembali melambung tinggi. Saya akan urus surat  perceraian kalian segera.”

Haseena mengelap air mata, perkataan Vikram sewaktu berkujung ke rumahnya kembali terngiang panjang.

“Kau masih tidak mau mengatakan apa yang dikatakan Pak Vikram, Haseena? Baiklah, aku sendiri yang akan bertanya padanya. Aku sangat yakin, Pak Vikram pasti mengancammu, kau tidak mungkin bertindak sejauh ini jika tidak ada campur tangannya.”

Sigap Haseena menahan tangan Veer. “Biarkan aku pergi membawa cinta ini dengan damai. Setelah itu, kau bisa melanjutkan hidupmu.”

“Tanpamu? Tidak bisa, harus kubilang berapa kali, aku bahkan tak akan mati tanpa kau di sisiku, Haseena.”

Haseena menangkup kedua pipi Veer. Sesenggukan tangis melemahkan pertanahannya.  “Dengarkan aku, kisah cinta tidak harus berakhir dengan pernikahan dan  pernikahan bukan akhir dari kisah cinta.”

***

Apa Veer mempedulikan permintaan Haseena yang meminta untuk menceraikannya? TIDAK! Karena sampai kapan pun, dia tidak akan membiarkan siapa dan apapun merenggut kebahagiaan yang bahkan baru dia dapatkan kembali setelah perpisahan dan pertemuan yang silih berganti.

Derap kaki Veer menggebu-nggebu memasukki kantor tempat Vikram bekerja. Di tangannya, map coklat dia genggam erat. Tidak ada sapaan hangat yang Veer berikan pada para staff, dia hanya ingin bertemu Vikram dan memberinya pelajaran. Tiba di depan pintu ruangan Vikram, tanpa salam atau permisi, dia langsung masuk dan disambut Vikram serta dua orang tamu yang merupakan wartawan salah satu media masa terkemuka.

Vikram yang mengetahui Veer tengah diselimuti api amarah tentu tak akan membiarkan api itu menyulut situasi. Apalagi, dia kedatangan tamu penting yang bisa kapan pun mengekspos keburukan bintang di perusahaannya.

“Kita lanjutkan perbincangan tadi lain waktu. Sepertinya, Veer sedang ada masalah,” ujar Vikram menyalami kedua tamu secara bergantian.

“Baik Pak Vikram. Kalau begitu, kami permisi dulu. Saya harap, kerjasama ini  bisa terwujud dengan baik.”

“Ya. Mari saya antar ke depan,” kata Vikram. Mengabaikan sejenak Veer yang berdiri di depan pintu, Vikram mengantar kedua tamunya, memastikan mereka benar-benar pergi.

Vikram telah menyelesaikan pekerjaannya. Dia kembali ke ruang kerja, tidak lupa mengunci pintu rapat-rapat agar tidak ada satu pun orang yang mengetahui amarah Veer.

Vikram membenahi blazer- nya. “Baiklah, katakan apa yang kau mau.”

Mendadak, tangan Veer mencengkeram kerah kemeja pria yang selama ini sudah dia anggap seperti ayahnya sendiri. Bola mata Veer terbakar amarah.

“Katakan pada Haseena untuk mencabut gugatan cerainya. Aku sudah tahu semua kebusukanmu, Tuan Vikram Anand.” Veer melempar map coklat ke dada Vikram. “Kau ingin berkilah apa lagi, ha? Kau yang sudah mempengaruhi Haseena agar berpisah dariku. Kau juga yang telah memisahkanku dari Haseena saat kami kecelakaan dengan bersekongkol dengan ibu tirinya.” Tangannya menyapu dagu yang dipenuhi rambut tipis, lalu sebuah kepalan tangan melesat ke rahang Vikram.

Belum cukup satu pukulan, Veer kembali menarik kerah kemeja Vikram. “Dengar, Tuan Vikram Anand, sekeras apapun kau mencoba menghapus Haseena dalam hidupku, kau hanya akan menemui kesia-siaan belaka. Haseena tidak hanya tertulis di takdir hidupku, tapi juga hatiku. Kau pikir, dengan kau menjauhkan kami yang sama-sama lupa ingatan, kau akan mengakhiri cinta kami begitu saja? Kau ini siapa, ha? Berani-beraninya menuliskan kisah kami. Yang bahkan, tulisan yang kau karang tidak bisa mengalahkan tulisan takdir yang telah Tuhan gariskan.”

Satu sudut bibir Vikram terangkat. Dia menggenggam kedua pergelangan tangan Veer yang masih mencengkeram kerah kemejanya. Tangan Veer terhempas dari kerah kemejanya diiringi senyum puas. Sebuah tepuk tangan tercipta.

“Kau pikir, dengan begini, kau akan menghentikanku, Veer?” Vikram menepuk pundak Veer. “Lagi pula, bintangku harus terus bersinar, tidak boleh ada sedikit pun kabut yang menghalangi sinarnya. Memangnya, setelah kalian bersama, kau pikir semuanya akan baik-baik saja? Kalian akan hidup bahagia dan memiliki anak yang menggemaskan? Itu hanya omong kosong! Justru, kau akan kembali melaju ke bawah dengan cepat dan berjalan menyusuri kegelapan malam yang menyedihkan. Apa yang bisa kau harapkan dari perempuan bernama Haseena itu?”

“Dia hanya perempuan yang tidak tahu diri. Buka matamu lebar-lebar, kau telah ditipu olehnya, Veer. Dia hanya ingin memanfaatkanmu, setelah dia mendapatkan apa yang dia mau, dia akan pergi meninggalkanmu. Perempuan kelas rendahan semuanya sama saja,” kelakar Vikram. “Aku tidak berniat memisahkan kalian, aku hanya ingin perempuan itu menyadari di mana posisinya. Dia hanya pagi yang akan meninggalkan bintangnya saat matahari datang.”

Tidak tanggung-tanggung, Veer yang terbakar emosi langsung menghajar Vikram. Dia tidak peduli sebesar apa kebaikan yang telah Vikram berikan hingga dirinya berada di posisi sekarang. Baginya, kebaikan itu sudah musnah seiring kejahatan yang Vikram perbuat pada dirinya dan Haseena.

Barang-barang yang berada di atas meja berjatuhan, menimbulkan suara gaduh. Veer tidak henti memekikkan makian disela menghajar Vikram yang kini tertunduk lemas.

Saat Veer lengah, Vikram mencoba melawan balik. Sayangnya, Veer lebih menguasai situasi, dia bergerak cepat mematahkan serangan Vikram.

Sementara itu, di luar ruang kerja, para staff tengah membantu security kantor untuk mendobrak pintu. Percobaan kedua gagal membuka pintu, barulah di percobaan ketiga pintu dapat dibuka paksa. Betapa terkejutnya mereka mengatahui bos mereka yang sudah babak-belur di tangan Veer. Melihat Veer yang mau menyerang Vikram lagi, mereka sigap menangkap Veer, menyeretnya pergi. Veer sempat memberontak, bahkan sempat memberikan perlawanan pada dua security.

Suasana kantor kacau-balau, Veer masih mengamuk di koridor kantor. Apapun benda yang terlihat di mata menjadi sasarannya. Dia tidak berhenti merusak fasilitas kantor untuk meluapkan kemarahannya.

Puas menghajar Vikram, Veer yang mendapat luka memar di kening karena sempat menghantam meja itu pun melanjutkan perjalanan menuju sebuah bar. Dia memesan dua botol bir lalu pergi dengan jalan kaki, dia sengaja meninggalkan mobilnya di parkiran bar, berjaga-jaga polisi akan melacaknya.

Tawa kecil tersulut keluar seusai menenggak bir. Veer berjalan gontai, menembus dinginnya malam yang mencekam. Dia mengabaikan semua masalah yang membakar kepala.

Dia tiba di sebuah jembatan. Dia naik ke pagar jembatan, duduk di sana mengamati bintang di langit yang kosong tanpa sinar rembulan. Dia menenggak lagi dan lagi bir hingga menyisakan satu botol kosong.

“Aku tidak tahu berapa harga satu botol wine yang baru saja aku buang, tapi aku tahu seberapa berharganya dirimu untuk orang-orang yang tulus menunggumu kembali bernyanyi di atas panggung. Kau bisa bangkit bahkan tanpa minuman bodoh itu, Veer. Apa yang kau harapkan dengan menyiksa dirimu sendiri? Jangan menjadikan dirimu seolah-olah manusia paling menyedihkan di dunia ini.”

“Sampai kapan kau akan mengasingkan diri seperti ini? Sudah dua bulan lebih orang-orang mencarimu? Apa kau tidak merindukan mereka? Setidaknya ... saat kau membenci satu orang, jangan kau taruh kebencian itu pada semua orang.”

Semburat ingatan hadir di ruang memori Veer. Dia tersenyum sepersekian detik sembari menatap botol bir yang belum dia buka.

“Lalu kenapa, di saat aku mencintai satu orang, semua orang membenci cintaku? Apa yang salah dari cintaku?”

“Aku tidak berniat memisahkan kalian, aku hanya ingin perempuan itu menyadari di mana posisinya. Dia hanya pagi yang akan meninggalkan bintangnya saat matahari datang.”

Kening Veer berkerut, dia menyadari maksud dari perkataan Vikram. Dia berbalik, melompat ke jalanan beraspal yang tersorot lampu kuning.

“Jadi ... ini soal posisi.” Pandangnya kini tertuju pada hamparan langit malam yang senyap. Dengan sekali lempar, botol bir yang kosong melayang ke sungai di bawah sana diiringi teriakan amarah. Lalu dalam sepersekian detik, amarahnya berganti gelak tawa yang menyakitkan.

***

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now