Part 14

12 1 0
                                    

Veer memarkirkan mobilnya di atas jembatan berwarna merah. Di bawah sana, Haseena asyik  melempar kerikil ke aliran sungai yang tidak terlalu deras. Veer memilih mengawasi dari atas seraya menikmati secangkir teh hijau Kashmir.

Sementara Haseena, selesai menyantap makanannya, dia berpamitan ingin bermain ke sungai sekaligus menenangkan diri.

Tangan Haseena berayun membelai air sungai yang dingin. Haseena melempar pandangan ke Veer yang berdiri melamun di atas jembatan.

“Pria itu aneh sekali. Dia seperti tidak punya semangat hidup,” gerutunya. “Sikapnya juga berubah-ubah setiap waktu. Terkadang manis seperti kucing, lalu tiba-tiba dingin seperti kutub utara.”

Tangan Haseena mengambil benda di dekatnya, lalu melemparnya ke aliran sungai. Tanpa dia sadari, benda yang dia lempar adalah ...

“Sandalku!” pekik Haseena setengah menjerit seraya bangkit berdiri.

Jeritan itu tentunya terdengar dari atas. Veer spontan berlari ke bawah, membuntuti Haseena yang berlarian di tepi sungai sambil menyebut-nyebut sandalnya.

“Biar aku saja yang mengambilnya,” tukas Veer. Haseena mempersilakan.

Selagi Veer mencari sandalnya yang hilang, Haseena membungkuk, mengatur napasnya yang naik-turun tak karuan. Ditambah, telapak kakinya sakit karena menginjak batu-batu kecil di tepi aliran sungai.

“Haseena! Aku mendapatkannya!” Teriak Veer sembari mengangkat tinggi-tinggi sandal sebelah kiri milik Haseena.

Punggung perempuan itu tegap seketika, tubuhnya membeku dalam beberapa detik. “Tadi itu ... aku seperti pernah mendengarnya.”

Veer segera memboyong sandal itu ke hadapan Haseena.

“Ini.” Veer memberikan sandal Haseena yang sudah basah kuyup. “Untung saja sandal ini tersangkut di bebatuan.”

Veer heran, kenapa Haseena justru tidak bergerak atau mengambil sandal dari tangannya? Dia menyodorkan sandal itu.

“Haseena.”

“Hah?” Haseena mengambil sandal itu, dia beranjak duduk di sebuah batu berukuran besar.

Karena respon Haseena tersebut, Veer yang penasaran ikut duduk bersamanya.

“Ada apa? Apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?”

“Apa kau pernah merasa mengalami situasi yang sama untuk kedua kalinya? Sejak bertemu denganmu, banyak hal yang aku sendiri tidak mengerti apa maksud dari semua ini.”

Sudut bibir Veer menyungging. “Akhirnya, kau menyadarinya, Haseena. Itu juga yang mengganggu pikiranku setelah kecelakaan. Aku menemui berbagai kenangan bersama perempuan itu, perempuan yang bahkan aku tak tahu wajahnya. Mimpi-mimpiku dipenuhi suara tawanya, seolah mengejek kesengsaraanku. Aku terus bertanya kepada setiap angin yang berlalu, siapakah perempuan itu? Apa dia bagian dari hidupku? Apa dia pernah meninggalkan namanya di hatiku?” Veer membuang muka, menikmati sajian panorama alam. Lalu, melanjutkan.

“Tapi mengapa, dia tidak pernah hadir, sekadar menjengukku atau mengucapkan kalimat perpisahan sebelum pergi. Lalu ... aku menemukan perempuan itu melalui sebuah petunjuk.”

Jantung Haseena memompa darah dengan kecepatan penuh, sehingga menimbulkan dentingan yang tak beraturan. Dada Haseena mulai sesak mengatur aliran udara.

“Si-siapa perempuan itu?” tanya Haseena gugup setengah mati.

Veer menoleh juga. “Kau akan tahu nanti. Tidak sekarang, biarlah ini menjadi rahasiaku.”

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now