Part 4

23 3 0
                                    

“Bagaimana jika kau memberitahu adikmu tentang kabar baik ini. Adikmu pasti akan sangat senang mendengarnya,” ungkap Veer  baru kembali dari dapur mengambil pancake coklat yang dibawakan oleh Haseena.

“Kau tidak pernah merusak rencana liburanku. Jadi, aku tidak ingin merusak rencanamu mengasingkan diri dari dunia entertaint. Kau tidak tahu saja, Hania adikku itu, dia ....” Haseena menurunkan pisau makan. “Aku tahu seberapa parahnya obsesi Hania kepadamu, dia memiliki banyak teman yang juga penggemar beratmu, aku yakin, Hania tidak bisa menyimpan rahasia ini baik-baik.”

Veer mengangguk-angguk saja sembari menyantap roti panggang buatannya. “Okay.”

“Kau tidak kesal ‘kan? Ya, aku hanya ... tidak mau apa yang sudah kau susun baik-baik menjadi kacau hanya karena semua orang tahu kau akan menikah dengan perempuan yang –“

“Ssttt ... dengar, Haseena. Kenapa kau selalu merendah, ha? Sekarang, aku bukan siapa-siapa, aku hanya Rajveer Hirani calon suamimu. Aku bukan lagi Rajveer Hirani yang bersinar terang di panggung diiringi sorak-sorai penggemar. Jadi aku mohon, abaikan siapa diriku sebelumya. Yang harus kau catat baik-baik, aku adalah Rajveer-mu, ingat itu.” Veer menggenggam tangan kekasihnya.

“Maaf.”

“Baiklah. Jika kau tidak ingin memberitahu adikmu tentang rencana pernikahan kita, itu artinya, aku juga tidak akan memberitahu siapapun tentang hal ini.”

“Mungkin lebih baik, kita sembunyikan dulu hal ini dari semua orang. Setelah kita menikah, kita pulang ke Mumbai dan memberi tahu kabar ini ke satu persatu orang terdekat kita, bagaimana?”

“Ide bagus.” Senyuman lebar tercetak hangat di wajah pria itu.

***

Setapak demi setapak, Haseena menuruni tangga disambut senyum hangat Veer yang dibuat terpana akan kecantikan calon istrinya. Apalagi, anarkali hijau dengan balutan selendang kuning yang bertengger di pundak menambah nilai sempurna penampilan Haseena.

Senyum keduanya mengembang sempurna saat Veer menggandeng Haseena menuju depan vila yang disulap menjadi tempat akad nikah. Keduanya berhenti sejenak, memandang langkah baru yang akan mereka jajaki di depan seorang imam masjid terdekat yang ditunjuk sebagai wali nikah.

Bismillah.” Bisik Haseena mengeluarkan deretan karbon dioksida di dada.

Pernikahan sederhana yang bertempat di depan vila milik Veer terlaksana dengan khidmat. Acara sakral itu hanya disaksikan seorang pria paruh baya yang merupakan penjaga vila milik Veer dan putranya. Dalam sekali ucap, akad nikah menjadi pintu pembuka bahwa jalan cinta Veer dan Haseena baru saja dimulai. Pernikahan keduanya bukanlah titik terang kebahagiaan, melainkan gerbang menuju lautan kehidupan yang tidak bisa ditebak di dalamnya.

Selesai acara akad, acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama menggunakan kamera kepunyaan Veer. Putra penjaga vila sesekali memberi arahan pada pengantin yang tengah berbahagia itu untuk berpose. Tidak ada satu titik hitam di antara Veer dan Haseena, wajah mereka berseri di bawah kilauan sinar matahari yang menghangatkan suasana.

“Satu foto lagi!” tukas Prem memberi isyarat tangan.

Satu jepretan terakhir diambil. Veer dan Haseena lekas bernapas lega, mereka tidak tahu sudah berapa foto yang ditangkap oleh kamera.

“Coba lihat!” Veer mendekati Prem yang tengah melihat-lihat galeri foto.

Di saat Veer melihat-lihat hasil jepretan Prem, Haseena tampak gelisah setelah mendapat telepon dari seseorang. Veer yang melihat kegaduhan di wajah Haseena menaruh curiga. Dia buru-buru mencari tahu, dia yakin, ada masalah yang baru saja tiba.

Veer tidak langsung bertanya, dia menunggu perempuan itu menutup telepon entah dari siapa. Haseena menurunkan ponsel dengan lemas, dia menatap wajah suaminya yang tampak bertanya-tanya.

“Bisakah kau mengantarku pulang, Veer? Perempuan itu ....” Haseena menurunkan pandangan sesaat, bersusah payah mengangkat air mata yang hampir jatuh. “Ibu tiriku meninggal dan sekarang aku dalam masalah besar.”

“Masalah? Masalah apa?”

“Aku akan memberitahumu nanti, bisa kita pergi sekarang?”

“T-tentu.”

“Kalau begitu, aku akan ke atas untuk berkemas.”

“Aku akan membantu.”

“Tidak perlu. Kau bisa berpamitan kepada mereka,” tukas Haseena mengulum senyum singkat sebelum berlalu.

Senyum yang Haseena berikan tidak jua membuat Veer lega. Dia sangat yakin, ada sesuatu yang sedang Haseena tutup-tutupi.

“Aku telah dipertemukan denganmu melalui garis takdir baik. Aku berdetak dengan cintamu. Hidupku telah dicuri oleh hadirmu. Namun nampaknya, bulan yang bersembunyi di atas sana sedang cemburu dan mengadu pada Tuhan untuk mengirim masalah baru.”

Veer berbalik, menghadiri perbincangan Ranjit dengan imam masjid itu. Meskipun pembicaraan para pria terisi dengan gelagak tawa, Veer tak beralih mengamati pergerakan Haseena yang berdiri termenung di depan jendela tepat di atas sana.

“Apa yang sedang kau simpan di balik air matamu itu, Haseena?”

Menyadari ada sepasang mata yang mengamati di bawah sana, Haseena buru-buru menghapus jejak air mata di kedua pipi, lalu tersenyum lebar, mengabarkan pada sang kekasih bahwa dia baik-baik saja. Berikutnya, dia beralih mengambil koper, menata pakaian dan barang-barangnya. Tak lupa, dia menuju kamar Veer yang berada di sebelah kamarnya.

Tiba-tiba, sorot mata Haseena jatuh kepada buku harian Veer yang tergeletak di atas meja. Dia sempat ragu sekadar menyentuh buku tersebut. Namun karena penasaran, dia membukanya, membaca tulisan Veer yang sepertinya baru ditulis tadi pagi, dia bisa mengetahui itu dari tanggal yang bertengger di sudut atas.

Nona ... kau bisa memasukki  kegelapan yang tengah duduk manis menertawaiku. Saat mendengar bisikan senyummu, aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menghentikan sejenak waktuku, agar aku bisa berlama-lama melihat betapa cantiknya dirimu dengan senyum itu.

Nona ... kebahagiaan apa yang bisa melebihi kebahagiaanku di saat saya mendapatkanmu. Ya. Hari ini, mulai hari ini Anda milikku. Begitu pula seterusnya. Anda akan menjadi satu-satunya tempat saya kembali. Kemana pun Anda pergi, saya akan mengikuti sembari menggenggam tangan Anda, menguatkan Anda dalam setiap kekalahan.

Nona ... sungguh, tidak ada lagi yang saya harapkan saat ini. Kehadiran Anda di hidup saya sudah cukup. Saya telah meletakkan hidup saya untuk mengembara bersama Anda dan menjadikan Anda sebagai seorang kekasih yang sangat beruntung mendapatkan saya. Bantu saya ... bantu saya membahagiakan Anda.

Haseena membuka halaman selanjutnya. Ternyata masih kosong. Kemudian, mata Haseena beredar, mencari sesuatu. Ditarik laci meja, sebuah bolpin hitam diraih. Dia mulai mengukir sebuah kalimat yang lambat laun memenuhi dua halaman kosong. Tak sampai disitu, dia turut menggambar sketsa wajahnya melalui bantuan cermin di depan sana.

Tak butuh waktu lama, hadiah terbaik di buku harian Veer telah selesai dibuat. Takut tiba-tiba Veer  muncul, Haseena segera meletakkan buku harian dan bolpoin ke tempat semula. Padahal, dia belum menyelesaikan sketsa buatannya.

“Aku merasa sangat terhormat dimiliki pria sepertimu, Veer. Aku mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu. Terima kasih atas semua cinta yang kau buatkan untukku. Kau tahu? Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya, sekarang, aku memiliki alasan untuk tetap bahagia. Dan itu karenamu. Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Haseena berbalik, tersenyum girang sembari menyambut tangan Veer yang siap memeluknya.

“Mari berbahagia bersama,” ujar Veer menenggelamkan kekasih hatinya itu dalam dekapan hangat.

“Iya. Tentu.”

***

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now