Part 22

5 1 0
                                    

Kembali ke Goa dengan segala keindahan dan kisahnya. Tanpa sepengetahuan siapapun, pagi-pagi sekali Veer memboyong Haseena ke tempat pertama kali mereka bertemu. Dia sengaja ke Goa guna melengkapi puzzle ingatannya yang masih tercecer. Veer sengaja meninggalkan ponselnya di apartemen, dia sama sekali tidak tertarik untuk membaca pesan atau menerima telepon dari siapapun selama bersama Haseena.

Setibanya di villa yang dulu sempat Veer sewakan untuk Haseena, keduanya berjalan pelan sembari berpegangan tangan.

Telunjuk Haseena berkeliling. “Ya ampun, semuanya masih sama seperti dulu. Lihat ayunan itu, kita dulu sering menghabiskan makanan di sana sambil bercerita. Kau ingat?”

Veer menggeleng lunglai.

“Tidak apa.” Bola matanya mengembang. Dia menarik Veer ke belakang villa. “Kau pasti tidak akan meluapkan satu tempat ini.”

Senyuman Haseena merekah sempurna setelah pintu paviliun dibuka dengan halus oleh Veer. Sebuah kain penutup lukisan milik Haseena masih bertengger menyelimuti mahakarya perempuan itu.

Veer menggaet sang pujaan hati ke depan lukisan berukuran besar tersebut. Veer menggenggam ujung bawah kain, lalu menurunkan paksa kain penutup lukisan itu dengan sekali tarikan. Haseena terperangkap dalam rasa senang yang tak terkira.

“Ku-kukira ... kukira yang kau bakar di video klip itu adalah lukisanku.”

Veer memberikan senyum lebar. “Mana mungkin aku membakar lukisanmu? Lukisan ini terlalu cantik untuk dibakar, sama seperti pelukisnya.” Dia bersedekap, menghadap pujaan hati. “Kau tahu, video klip itu hanya sebuah umpan.”

“Umpan?”

“Ya. Karan yang menyarankanku untuk membuat video klip sesuai perjalanan kisah kita, ya ... meskipun belum sempurna. Hari ini, aku ingin menyempurnakan kisah itu bersamamu.” Veer mengambil tangan Haseena. “Mari berbahagia bersama, Yara Haseena.”

Haseena membalas ucapan manis itu dengan pelukan hangat. Kini, keduanya berjalan pelan untuk lebih dekat dengan lukisan yang telah menunggu tuannya. Tangan Haseena mengelus kanvas yang telah bosan menunggunya seraya membawa senyum tipis dan bayang-bayang ingatan saat Veer melamarnya.

Ketika perempuan berpasmina hitam itu terbius penuh oleh kenangan. Petikan senar gitar di belakang punggungnya sontak memaksa Haseena berbalik badan. Tentu, dia familiar dengan nada lagu yang Veer mainkan. Ya. Lagu sama yang pernah Veer mainkan sebelum melamar perempuan itu. Haseena sangat menikmati pertunjukan lagu Veer dengan iringan derai air mata bahagia. Pria itu terus berdendang, melantunkan lirik-lirik lagu romantis dengan suara lembut. Kalbu keduanya bergetar, meramaikan suasana penuh kebahagiaan yang telah lama dirindukan.

“Bantu aku untuk sekali lagi melihat keindahan dunia, sekali pun aku mati, aku tidak akan mendapatkan cintaku. Justru, aku akan kehilangan banyak cinta dari orang-orang yang tulus mencintaiku.”

“Kata-kata itu ....”

Veer memberikan senyum lebar. “Kata-kata itu diucapkan oleh pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang perempuan yang unik, langka dan berbeda dari perempuan lainnya.”

“Kau ingat semuanya, Veer?” tanya Haseena berkaca-kaca.

“Hanya beberapa.” Veer mendekat, menarik tangan Haseena. “Maukah kau menyempurnakan ingatanku, Yara Haseena? Tolong, jangan pergi lagi dariku sedetik pun.”

Perempuan itu terkekeh. “Mana mungkin aku bisa bersamamu setiap detik, ha?” Dia merapikan jaket suaminya yang sedikit berantakan. “Jadilah tokoh utama di kisahmu sendiri, tulis kemenangan di belakang kekalahanmu. Kau yang sepenuhnya menjalankan kisah ini, begitu juga aku.”

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang