Bab 05

2.6K 301 10
                                    

Hai Sekar-Agra kembali...

Happy reading...

 
"Ma, kenapa Om Dhafi nggak pulang-pulang juga?"

Sekar yang tengah melamun sontak mengerjap ketika mendengar pertanyaan sang puteri yang duduk di sampingnya. Saat ini mereka sedang duduk di sebuah sofa rotan yang ada di teras rumah Bu Rina. Terdapat beberapa kursi rotan lainnya di sekitar mereka serta beraneka ragam pot bunga yang di letakkan mengitari teras. Tempat itu biasanya menjadi tempat berkumpulnya anak-anak asuh Bu Rina untuk bercengkerama satu dengan yang lainnya.

"Kan Mama sudah bilang sekarang Om Dhafi kerjanya jauh, jadi Hanum harus sabar ya karena sekarang Om Dhafi nggak bisa seperti dulu yang bisa pulang setiap hari." Sekar mengusap lembut kepala Hanum.

Penjelasan Sekar membuat Hanum menunduk sedih. Sudah tiga hari kepulangannya dari rumah sakit namun ia masih belum juga bertemu dengan Dhafi. Sejak ia lahir, ia sudah terbiasa dengan keberadaan Dhafi yang sudah di anggapnya seperti ayah sendiri.

"Om bilang Om nggak akan meninggalkan Hanum," gumamnya dengan suara yang sarat akan kesedihan.

Mendengar itu hati Sekar terasa sakit. Ia tahu puterinya sangat menyayangi Dhafi. Kedekatan keduanya membuat sang puteri merasa sedih harus tinggal berjauhan dengan pria itu.

Di rangkulnya bahu Hanum sebelum mengecup puncak kepala anaknya itu. "Hanum jangan sedih ya, Om Dhafi juga pasti akan sedih kalau lihat Hanum begini. Lebih baik sekarang kita berdoa biar Om Dhafi bisa berkumpul lagi dengan kita disini," tuturnya sembari meredam rasa sesak di dada.

Hanum menarik diri dari pelukan sang mama, lalu menengadahkan kedua telapak tangan dan mulai berdoa. "Ya Tuhan, tolong bawa pulang Om Dhafi ya Tuhan. Hanum kangen. Berikan Om Dhafi uang yang banyak Tuhan supaya Om Dhafi nggak pergi-pergi lagi ninggalin Hanum."

Kata-kata penuh pengharapan sang puteri tak kuasa membendung air mata Sekar dan membuat nada suaranya bergetar ketika mengaminkan doa itu.

"Permisi."

Sekar terkesiap, kedatangan seorang pria bersetelan rapih membuat Sekar melonjak bangun dari duduknya.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sekar, menghampiri orang itu dengan tatapan penuh tanya.

"Maaf apa benar ini rumah Bapak Tedi Sanjaya?" tanya pria itu.

"Be—betul, tapi maaf sekarang Pak Tedi sudah tiada," jawab Sekar.

Pria kisaran empat puluh tahunan itu tersenyum. "Saya tahu, saya kesini hanya untuk mengantarkan amanat ini untuk keluarga beliau." Ia lantas mengulurkan map tebal berwarna cokelat kearah Sekar.

Sekar mengernyit, sesaat ia hanya mematung menatap map cokelat yang di ulurkan oleh pria itu. "Oh kalau begitu silahkan bapak duduk dulu, biar saya panggilkan istri beliau."

"Tidak usah mbak, saya tidak bisa lama!" cegah pria asing itu, menahan Sekar yang sudah siap melangkah. "Ini tolong di terima!" Kembali, ia mengulurkan map cokelat itu kepada Sekar.

"Ta—tapi ini apa Pak?" tanya Sekar dengan panik.

"Amplop ini berisi uang tiga puluh juta."

"U—uang?" Sekar tercekat.

"Uang ini adalah pemberian ayahku, dulunya beliau pernah meminjam uang kepada pak Tedi. Sebelum ayahku meninggal beliau berpesan kepada anak-anaknya untuk membayarkan hutangnya kepada Pak Tedi, tadi karena kesibukan kami baru bisa datang kemari," ucap pria itu panjang lebar, terlihat bersungguh-sungguh.

Tanpa kata, Sekar hanya bisa menatap amplop cokelat itu dengan ternganga.
"Silahkan diterima mbak, karena saya sangat buru-buru."

Sekar masih tidak berani menerima amplop pemberian pria itu, masih menimbang-nimbang apakah ia harus mempercayai ucapan orang asing itu?
Keadaan Sekar yang tengah merenung segera di manfaatkan si pria untuk menjejalkan amplop uang itu ke tangannya. Sekar ternganga karena dalam hitungan detik saja, amplop itu sudah beralih kegenggamannya. Sementara pria itu sudah berlalu meninggalkannya. Niatnya untuk mengejar tertahan oleh kedatangan Bu Rina yang masih memakai mukena.

Dia Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang