Bab 11

1.5K 213 14
                                    

“Tyas sudah tiada jadi Anda bisa berhenti melakukan hal-hal seperti ini kepada saya!”

Kata-kata Sekar di balik punggungnya berhasil membuat Agra membeku sejenak di depan lift sebelum memutuskan untuk memasuki kotak besi tersebut. Mereka saling berpandangan hingga pintu lift tertutup dan menghilangkan sosok Agra dari pandangan Sekar.

Sekar memejamkan mata, sesak yang berkecamuk di dalam dada berhasil meluruhkan air mata. 

Tidak!

Mana boleh ia selemah ini?

Tuhan sampai kapan ia harus seperti ini, terbelenggu oleh cinta yang menyakiti hatinya? Sungguh perasaan ini begitu menyiksanya sejak lama. Mencintai pria yang hanya menganggapnya sebagai titipan.

Saat sedang larut dalam kesedihan, ponsel Sekar berbunyi. ojeg yang di pesannya beberapa menit lalu sudah tiba dan menunggunya tepi jalan. Dengan terburu-buru Sekar membereskan meja kerjanya untuk kemudian menemui ojeg pesanannya.

Tanpa Sekar sadari Agra tengah mengawasinya di dalam mobil, pria itu bahkan meminta sopirnya untuk mengikuti kemana ojeg itu pergi membawa Sekar. Motor yang di naiki oleh wanita itu sempat berhenti di sebuah minimarket sebelum melaju kembali dan tak lama menurunkan Sekar di rutan.

Sekar meminta sopir ojeg itu untuk menunggunya sebab ia takan lama disana mengingat jam kunjungan telah berakhir. Niatnya hanya menitipkan bingkisan makanan yang ia beli untuk Dhafi kepada penjaga disana. 

Sepanjang jalan pulang, Sekar memikirkan Dhafi. Entah apa yang harus ia lakukan untuk mengeluarkan pria itu dari tahanan? Banyaknya kata-kata ancaman kembali ia dapatkan dari Hendri Darmawangsa di hari ini, tapi ia berusaha mengabaikannya karena ia harus fokus bekerja. Tapi kalimat-kalimat itu langsung tumpang tindih memenuhi otaknya begitu mengingat nasib buruk yang Dhafi alami karena dirinya.

Melangkah turun dari motor, Sekar langsung mengusap wajahnya tak ingin kesedihannya di lihat oleh sang putri yang tengah menantinya di depan rumah dengan senyuman terkembang.

“Mamaa…..” seru Hanum, menyambut kedatangan sang mama yang kini berjalan kearahnya.

“Sayangnya mama.” Di angkatnya sang putri ke gendongan. “Hmm … Hanum wangi sekali,” gumamnya usai menciumi sang putri.

“Iya dong, kan Hanum dibeliin shampoo baru sama Nenek.”

Sekar tersenyum, mengecup pipi Hanum lalu melemparkan tatapannya pada Bu Rina yang tengah bergeming di undakan teras—menatap lembut mereka.

“Sudah pulang Nak?” tanya wanita paruh baya itu.

“Sudah Bu.” Sekar berjalan kearah Bu Rina, lalu mencium tangan wanita tua itu. “Maaf ya, Sekar jadi ngerepotin Hanum lagi ke Ibu.”

“Apanya yang repot, anakmu anteng gini kok,” jawab Bu Rina seraya mengusap kepala Hanum.

Sekar tersenyum haru saat mendapati betapa tulusnya sikap yang Bu Rina tunjukkan kepada putrinya. “Makasih banyak ya Bu,” gumamnya.

Bu Rina mengangguk. “Kamu pasti capek! Mau ibu buatkan air hangat untuk mandi?” tawarnya sambil menggamit lengan Sekar untuk menghelanya ke dalam.

“Nggak usah Bu, Sekar biar mandi pakai air biasa aja!”

Ketiganya lantas memasuki rumah dengan model klasik itu, tanpa sadar jika Agra mengawasi di dalam mobil mewahnya. Ia sempat tertegun saat melihat Sekar berpelukan dengan seorang anak perempuan, tapi kemudian ia teringat rumah yang Sekar tinggali adalah rumah singgah. Jadi mestinya ia tidak usah terkejut melihat interaksi mantan istrinya dengan anak kecil.

***

Esoknya, Sekar mendapati kabar jika Agra sudah kembali ke kantor pusat. Ia sedikit lega karena itu artinya untuk beberapa hari ke depan, ia tidak perlu berhadapan dengan pria itu.

Dia Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now