Bab 9

2.8K 283 22
                                    

Bab 09

“Aku tidak ingin memesan makanan apapun!” Jawaban Agra yang tidak lagi memakai bahasa formal, kembali menutup jaraknya dengan Sekar.

“Baiklah kalau begitu saya akan kembali ke meja saya, jika Anda berubah pikiran Anda bisa langsung menghubungi saya karena Mbak Dewi belum kembali dari kantor pajak.” Sekar membungkuk hormat sebelum menghelakan kakinya.

“Apa aku mengatakan kamu sudah boleh pergi?”

Pertanyaan Agra menghentikan helaan kaki Sekar. Ia menoleh lalu menatap bingung wajah mantan suaminya itu. “Apa ada yang Anda butuhkan?” Berusaha mengabaikan tatapan Agra yang dalam, sesekali ia harus mengalihkan pandangannya pada objek manapun yang ada di ruangan itu. Dari sudut mata, ia melihat Agra mengulum senyum—sikap yang jarang sekali di perlihatkan pria itu di masa lalu mereka.

“Menurutmu?” Agra menyilangkan kedua lengannya yang hanya berbalut kemeja putih.

Sekar berhasil menguatkan hatinya untuk bisa menatap pria itu. Sejenak mereka hanya saling menatap dalam diam, Agra dengan tatapan tidak terdefinisinya sedangkan Sekar dengan tatapan sayunya.

“Saya tidak tahu, kita tidak pernah saling mengenal secara personal jadi jangan meminta saya untuk menebak isi kepala Anda.” Senyuman getir terbentuk di raut wajahnya yang kini tertunduk.

Kata-kata Sekar membuat Agra tercenung. Hatinya merasa tidak nyaman mendengar Sekar mengatakan demikian, padahal jika di ingat-ingat ia juga pernah mengucapkan kalimat yang sama.

“Kita hanya pernah dekat di atas ranjang begitu kan maksudmu?” sindirnya sambil tersenyum tipis.

Sekar berdeham lalu membalas tatapan Agra, rona merah tercetak di kedua pipinya. “Bisakah Anda tidak membahas hal itu lagi? Sekarang saya adalah bawahan Anda, mengingat hal itu hanya akan membuat kita berdua merasa canggung.”

“Aku tidak merasa seperti itu?” balas Agra datar. 

Meski raut wajah pria itu tak kalah datar dengan suaranya tapi respon Agra cukup mencengangkan Sekar. Andai tidak mendengar sendiri, ia mungkin tidak percaya jika kata-kata itu keluar dari mulut Agra mengingat dulu mantan suaminya itu jarang sekali bicara banyak dengannya.

Detik berikutnya, keduanya terkesiap saat mendengar suara ketukan pintu disusul oleh kedatangan Dewi yang tampak bersemangat.

“Siang Pak, saya datang tepat waktu kan?” tanyanya seraya mengecek arlojinya.

“Kamu terlambat lima menit, ayo!” setelah melemparkan kata-kata itu pada Dewi, Agra lantas beranjak dari ruangan.

Bahu Dewi terkulai lemas. “Lagian kenapa nggak langsung ketemuan disana aja sih Pak? Kan lebih dekat jaraknya dari kantor pajak dari pada saya harus balik dulu ke kantor, mana tadi macet lagi,” keluhnya pelan.

“Memang kalian mau kemana?” tanya Sekar bingung.

“Pak Agra belum kasih tahu?” tanya Dewi.

Pertanyaan Dewi langsung di balas gelengan oleh Sekar.

“Kita bertiga mau makan siang di luar, yuk buruan!” Dewi lantas menggamit lengan Sekar, menghelanya meninggalkan ruangan.

“Mbak ko’ nggak bilang?” Sekar menoleh pada seniornya itu.

Dewi menghela napas. “Aku lupa, habisnya Pak Agra dadakan banget ngajaknya.”

“Aku udah pesan makanan, sayang-sayang kalau makanannya nggak di makan.” Sekar menggumam muram.

“Ya udah kasih aja ke sekuriti di bawah,” saran Dewi.

Sekar terlihat ragu. “Memang nggak apa-apa?”

Dia Dari Masa LaluOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz