Bab 10

1.6K 215 19
                                    

“Aku tidak punya banyak waktu untuk berdebat, jadi diamlah dan biarkan dokter memeriksa tanganmu!”

Kata-kata itu tiba-tiba mengingatkan Sekar pada ucapan Agra lima tahun lalu ketika pria itu diminta oleh Tyas untuk mengantarkan dirinya yang sedang tidak enak badan ke dokter.

“Demi Tuhan saya bisa jalan sendiri!” Sekar hanya butuh beberapa detik untuk bisa melompat turun dari gendongan Agra. “Dan jika Anda takut waktu Anda akan terbuang sia-sia karena saya, sebaiknya Anda tinggalkan saja saya disini. Aku bisa mengobati luka saya sendiri!” tegasnya dengan menatap dalam wajah mantan suaminya itu sebelum menghela langkah.

Tidak tidak!

Ia tidak boleh terluka lagi hanya karena kata-kata Agra. Lagi pula sejak dulu ia memang tidaklah penting bagi pria itu, bukan sesuatu yang baru mantan suaminya itu akan berkata ketus padanya. Terlebih kini Agra adalah atasannya di kantor, pria itu tentu makin merasa berhak untuk merendahkannya.

Tanpa menoleh ke belakang, Sekar terus menghelakan kakinya. Ia berhenti hanya untuk menanyakan arah kepada salah seorang perawat yang berpapasan dengannya lalu kembali melanjutkan tujuan. 

Usai memeriksakan lukanya, Sekar tertegun saat mendapati keberadaan Agra di luar ruangan tengah duduk di salah satu kursi besi yang menghadap ke ruangan dokter. Pria itu menatapnya tapi tidak mengatakan apa-apa. Pura-pura tidak melihat, Sekar berbelok ke loket administrasi sekalian untuk pengambilan obat. Ia berdoa semoga uang pemberian Bu Rina tadi pagi cukup untuk membayar pengobatan lukanya.

“Berapa mbak?”

Itu suara Agra, Sekar dengan reflek menoleh dan menemukan pria itu sudah berada di sebelahnya.

“Sebentar ya Pak, kami cek dulu obatnya!” sahut salah seorang apoteker.

Agra mengangguk.

“Biar saya saja Pak yang bayar,” tegas Sekar tanpa menoleh ke lawan bicara.

Agra mendengkus. “Kamu itu karyawan saya, jadi sudah tanggung jawab saya untuk membayar pengobatanmu!” jawabnya.

“Tapi saya terluka karena kecerobohan saya sendiri!” Sekar menatap Agra kesal.

“Dan kamu terluka di jam kerja.” Agra memalingkan wajahnya kearah Sekar, membalas tatapan mantan istrinya itu dengan tidak terbaca.

Sekar kehabisan kalimat untuk mendebat, jadi ketika obatnya datang dan petugas menyodorkan struk pembayaran ia hanya bisa terdiam ketika Agra memberikan kartu debitnya pada petugas itu.

“Terimakasih, saya janji ini yang terakhir saya merepotkan Anda,” gumam Sekar dengan memalingkan wajahnya—terlalu malu untuk melihat wajah mantan suaminya itu. Ia lantas beranjak meninggalkan Agra yang tertegun karena kata-katanya. Ia berdekad kelak ia harus lebih hati-hati agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang kembali karena selain urusan pekerjaan sebenarnya ia sudah tidak ingin berurusan dengan mantan suaminya itu.

Singkat cerita keduanya sudah kembali ke dalam mobil. Dewi yang sudah menunggu sedari tadi langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

“Apa kata dokter tadi?” tanya wanita itu.

“Bukan luka yang serius, katanya asal sering di olesin salep dan minum antibiotik nanti lukanya cepet kering,” tutur Sekar.

“Syukurlah.” Wajah Dewi tampak lega. “Tapi missal lukanya bikin kamu nggak nyaman untuk beraktifitas kerja, kamu bisa kok ijin dulu nggak berangkat. Mumpung masih ada aku, iya kan Pak?” tanyanya pada Agra yang sudah kembali menjalankan mobilnya.

“Ya,” singkat Agra.

“Terimakasih, tapi ini beneran nggak terlalu sakit ko’ Mbak!” Sekar tersenyum lembut pada Dewi

Dia Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now