Chapter 3

119K 6.1K 15
                                    

Ayra mengernyit kesakitan ketika tangannya semakin terasa kebas dan memerah. Dua borgol di tangan serta kakinya benar-benar menyiksa dan membuatnya tak bisa bergerak.

Bahkan jika menggunakan 1 borgol saja. Ayra sendiri tidak yakin bisa melepaskan diri. Lalu buat apa harus menggunakan 4 borgol sekaligus padanya.

Bahkan sudah hampir 4 jam ia di tinggalkan begitu saja di ranjang ini. Tanpa seorangpun berbicara padanya dan membuatnya merasa marah.

Mereka ini melakukan penculikan dan kejamnya lagi mereka meninggalkannya begitu saja. Bahkan pria yang berada di balik semua masalah ini belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

Ayra ingin mengumpat dan mengamuk saat ini. Pria dan harta kekuasaannya itu benar-benar menyebalkan untuknya.

Saat pikirannya mulai lelah dan bahkan matanya mengantuk. Pintu tiba-tiba terbuka dan membuatnya langsung menolehkan kepalanya.

Menatap waspada kearah pintu kamar ini. Tanpa perlu di tebakpun. Ayra tau siapa yang masuk kali ini. Aroma pria itu menguar ke seluruh ruangan yang membuat Ayra langsung mengenalinya.

Pria itu hanya berdiri dan tak mengatakan apapun setelah mengunci pintu di depannya. Ayra langsung memicingkan matanya dan menatap pria itu.

"Bisakah kau melepaskan borgol ini ?. Ini benar-benar menyakitkan" ucap Ayra yang membuat Mr. Leviero mengangkat sebelah alisnya.

"Lalu membiarkanmu kabur lagi ? Kurasa tidak"

Belum sempat Ayra membuka mulutnya. Pintu kembali terbuka dan memunculkan dua orang yang menggunakan pakaian perawat.

Ayra langsung menatap ngeri pada orang-orang di depannya. Sedangkan Mr. Leviero terlihat biasa saja.

"Mereka akan memeriksamu dan memastikan apakah kau hamil atau tidaknya. Setelah itu kita baru bicara"

Ayra menatap pria di depannya dengan tatapan penuh kebencian. Pria dengan kesempurnaan yang melekat di sosoknya membuat Ayra semakin yakin.

Jika semua pria dengan kekuasaannya selalu penuh dengan otoriter yang angkuh.

"Pria brengsek" bisik Ayra yang membuat pria itu menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil.

"Aku hanya ingin memastikan semuanya, Nona Colten. Tentu saja aku tidak akan membiarkan anakku di bawa pergi dariku" senyuman itu masih ada ketika pria itu berbalik hendak pergi.

Sebelum berhenti dan kembali menoleh pada Ayra yang hanya mampu terbaring di tempatnya.

"Walaupun itu ibunya yang membawanya" lanjut pria itu sebelum pergi meninggalkan Ayra.

*-*-*

Map di depannya terlihat terbuka dengan bulpoin di sampingnya. Sejak tadi Ayra hanya diam saja menatap lembaran kertas yang berada di dalamnya.

Sedangkan sosok pria penuh kuasa itu tengah duduk di kursi kebesarannya dengan wajah menunggu.

Ikatan borgol sudah di lepaskan sejak tadi sebelum akhirnya Ayra di suruh untuk berada di ruangan ini.

Duduk berhadapan dengan sosok bos besar perusahaan yang baru kedua kalinya ia temui saat ini.

Tidak ada yang menahannya untuk bergerak. Tetapi Ayra tentu saja tau jika dirinya tidak bisa seenaknya di sini.

Apalagi kenyataan bahwa keadaannya tengah hamil sudah di ketahui oleh seluruh hasil tes.

Untuk pertama kali dalam hidupnya. Ayra merasa tidak memiliki pilihan untuk dirinya sendiri. Satu pilihanpun tidak diberikan.

"Buat ini mudah, Miss Colten. Kau tau aku juga tidak ingin repot" ucap pria yang sejak tadi menunggunya.

Tatapan jengah terlihat jelas di wajah tampan itu yang membuat Ayra ingin sekali mencakarnya.

Pria itu seakan sedang membicarakan cuaca hari ini. Bukannya tentang masa depan Ayra ataupun masa depan anak yang ada di kandungannya saat ini.

Seolah bagi pria itu Ayra tidak terlalu penting.

"Kau yang membuatnya sulit, Mr. Leviero. Kurasa kau tidak akan membutuhkan anak ini. Lalu untuk apa Anda melakukan semua ini ? Saya... Bahkan tak meminta pertanggung jawaban Anda" bisik Ayra dan sebuah senyuman terlihat di sudut bibir pria itu.

"Lalu menciptakan skandal untukku nantinya ? Kau bisa saja menyerangku nanti, Miss. Colten. Mungkin kau suatu saat nanti akan datang dan meminta semua hak anak yang kau kandung. Tentu saja aku tidak akan membiarkannya"

Ayra menggelengkan kepalanya tak percaya. Bahkan ia tak pernah memikirkan drama seperti itu dalam pikirannya. Sedikitpun tidak.

"Aku tidak..." Suaranya langsung terhenti ketika sosok di depannya menyela dengan suara baritonnya.

"Dengar, Ms. Colten, Ayra. Aku disini tak berniat berunding apapun. Kurasa kau tau, sebagai bawahanku. Jika aku adalah boss yang tidak ingin repot. Buat ini mudah"

"Kau kuberi pilihan. Kita menikah, kau melahirkan anakku dan kita terlibat seterusnya atau kita menikah, lahiran anakku dan kau bisa pergi setelahnya. Setahun setelah kelahiran anakku" ucap pria itu lugas yang membuat Ayra ingin tertawa.

Bukankah ini menyebalkan. Pria itu seolah sedang membicarakan perpindahan hak milik tanah yang telah di belinya.

Bukannya membicarakan tentang pernikahan ataupun sebuah nyawa yang disebut anak. Mereka seolah sedang berbicara omong kosong bukannya masa depan.

Kepala Ayra berdenyut memikirkan semuanya. Semua pilihan yang ada di hadapannya sama sekali tak menguntungkan.

Bahkan tidak ada keuntungan di pihaknya. Menikah bukan perkara mudah dan melepaskan anak yang ada di dalam kandungannyapun jelas tidak akan mudah.

Munafik. Jika mengatakan dirinya tidak akan merasakan apapun saat mengandung bayi selama 9 bulan di perutnya.

Tentu saja ia tidak akan melepaskannya dengan mudah. Walaupun jelas dilepaskan untuk bersama ayahnya. Sosok pria otoriter di depannya.

Jelas Ayra juga tidak akan serela itu. Namun menikah dengan sosok pria di depannya hanya untuk melindungi nama baik pria itu bukanlah yang diinginkan.

Bosnya ini adalah pria brengsek di belakang kesempurnaannya. Lalu kenapa ia harus setuju atas pernikahan yang didasarkan untuk menutupi kebrengsekan bos besarnya.

"Kau tidak memberiku pilihan" bisik Ayra dan pria itu mengangkat sebelah alisnya.

"Itu pilihanmu. Anak yang kau kandung juga milikku dan aku tidak akan pernah melepaskan milikku, Ayra"

Ia benci suara itu.

Suara ketika bos besarnya menyebut namanya tanpa embel-embel Ms. Colten. Sialan! Fokus Ayra, kau sedang diperas saat ini. Bukankah sedang di rayu!

"Jika aku menikah denganmu. Apakah aku tak di perbolehkan tetap bekerja ?" Ucap Ayra yang membuat pria itu menatapnya seolah dirinya ini orang bodoh.

"Aku tidak semiskin itu sampai istriku harus tetap bekerja, Ayra. Apalagi saat mengandung anakku"

Ayra kembali terdiam dan menatap berkas map yang ada di depannya. Sebuah perjanjian yang harus di tanda tanganinya.

Bukan sebuah kontrak. Melainkan perjanjian resmi jika Ayra menyetujui pernikahan dan terikat pada sosok Gideon Leviero.

Perjanjian iblis yang diyakininya akan menjadi perjanjian yang akan disesalinya seumur hidup. Namun tidak ada pilihan lain untuknya.

Ayra mengambil bulpoin di samping berkas itu dan membumbukan tanda tangan di sana. Mengabaikan sosok pria yang tengah tersenyum kecil kearahnya.

Ia paling benci tidak memiliki pilihan dalam kehidupannya sendiri. Namun takdir memang tak berpihak dengannya dan membuatnya semakin terlihat menyedihkan baginya.

Berbanding terbalik dengan ucapan pria yang akan mengikatnya nanti.

"Kau tidak akan menyesalinya, Ayra. Tidak akan sedikitpun"

*-*-*

Scandal of BillionaireWhere stories live. Discover now