Chapter 2 ─ Part 1

123 18 2
                                    

Hangat basah kain menyapu seluruh lekukan helm. Bercak kering kerak merah darah permukaan besi hilang terangkat. Bekas pertempuran, berusia lebih dari satu minggu, dan Aisling baru membersihkannya sekarang─antara malas atau sungkan, Aisling tidak tahu pasti alasannya. Tidak ada bedanya mana yang dia rasakan, keduanya berakhir jadi pelambat kewajiban. Beruntung bagi Aisling, helm itu bagian terakhir dari zirahnya yang harus dibersihkan.

"Kamu belum selesai?" satu gelas kayu berisikan kopi hangat tiba pada muka meja kecil depan Aisling. Ingomer; si pemberi gelas, menduduki kursi lipat tidak bertuan dekat Aisling─duduk pada fondasi istirahat sejenis.

"Sudah, ini yang terakhir," kain pembersih helm─penuh noda darah, debu, dan tanah, terlempar masuk ember air dekat kaki. Hijau mata melirik gelas pemberian Ingomer, "oh, dan terimakasih, Imam Ingo."

Aisling menggapai gelas kopi, menghantarkan garis batas kayu ke bibir. Aroma kacang bumi mengalir begitu kuat dalam hidung, memikat dia sejak awal, dan sekarang menjadi lebih kuat─lantas Aisling nikmati. Kombinasi manis dan pahit yang pas mengalir penuh harmoni di setiap teguk. Di sela-sela itu, dirinya menaruh helm pada meja tempat kopinya tadi.

"Dia memarahimu kemarin?" tanya Ingomer. 'Dia'─yang Ingomer maksud adalah satu dari ratusan kapten pasukan Sahabah Ahlan: Kapten Barabas Ayiz.

Satu anggukan mengawali jawaban Aisling.

"Kamu jangan menelan mentah-mentah semua ucapannya. Saat itu kita baru keluar dari medan pertempuran. Mungkin, pikiran Kapten Barabas tidak sepenuhnya jernih. Yang pasti, dia hanya berniat untuk menjaga kedisiplinan pasukan." tangan Ingomer memanjang, menepuk punggung Aisling beberapa kali, "tetapi, bapak mengerti kenapa kamu melakukan apa yang kamu lakukan itu, kok."

Aisling menoleh, menemukan ungu Ingomer menatap hijau permatanya.

"Tiada seorangpun mau melihat kawan seperjuangannya mati mengenaskan. Kamu memilih menyelamatkan Kimos, daripada mengindahkan perintah Kapten Barabas, dan itu adalah hal yang benar." ucapan Ingomer itu menjadi pengangkat dua alis Aisling.

"Imam pikir begitu?" pertanyaan Aisling mendapat anggukan dari Ingomer.

"Ya, demikian pula pendapat sang Nabi." Ingomer menoleh, memandang ke depan, pada prajurit-prajurit Yosefianist yang berlalu lalang─di atas kuda, unta, atau dua kaki. "Rabb Maha Esa memerintahkan beliau untuk menghancurkan kota Tiamah, sampai tidak tersisa, termasuk penduduknya. Banyak Sahabah datang untuk membujuk Nabi Yosef dari melakukannya, termasuk pemimpin kita; Sahabah Ahlan."

Aisling mendengarkan Ingomer dengan seksama. Dirinya tidak asing dengan kisah yang diceritakan. Pertama kali tahu dari Nona Aithne sendiri saat diceramahi olehnya, dan diperdalam melalui perbincangan dengan senior regu dari Kalbia─bangsa kelahiran Yosef the Chosen One.

"Perintah itu merupakan ujian, kan?" singkat pertanyaan Aisling.

"Tepat sekali," balas Ingomer dengan nada pasti, "Rabbu Muhayyal Wahidu memberikan perintah melalui sang Nabi sebagai ujian; bagi kita dan Yosef the Chosen One. Bagimana kita, sebagai prajurit-prajuritnya, mampu mempertimbangkan perintah dan tidak begitu saja setuju buta kepadanya. Tidak akan selama-lamanya kita dipimpin Nabi Yosef. Akan datang masa pemimpin-pemimpin yang tidak sesempurna dia."

Wajah Ingomer menekuk. Ungu bertemu kembali hijau Aisling.

"Bergantung kepada kita, dan generasi selanjutnya, untuk menegakkan keadilan yang baik dan benar berdasarkan ajaran Rabb Maha Esa." senyum Ingomer, dengan rasa tulus dan lembut kebapakan. Guru-murid; deskripsi singkat hubungan, bukan saja antara Ingomer dan Aisling, namun Ingomer dengan seluruh kompeni Kapten Barabas.

"Boleh saya jujur, Imam Ingo?" tanya si mata hijau.

Ingomer memberikan anggukan pemasti, "Wajib." jawab si ungu.

The Heart of YellowDonde viven las historias. Descúbrelo ahora