Chapter 4 ─ Part 3

60 6 0
                                    

Aine memeluk erat lengan sang bunda, kecil jemari menelan erat kain putih-biru, melapisinya dalam pelukan erat. Gelap hijau danau mata sang anak perempuan memperhatikan keadaan sekeliling, menatap jauh, terbatas tembok kayu. Serdadu berlarian tanpa arah; prajurit dan pengawal berlarian membawa kayu, besi, dan barang yang Aine tidak pernah lihat sebelumnya, saling berteriak ke satu sama lain, menggunakan bahasa yang orang tuanya larang.

Emosi mencoreng jelita wajah. Aine tidak mengerti akan apa yang terjadi. Terlalu muda untuk memikirkan sesuatu selain belajar. Semua begitu membingungkan bagi anak gadis vetalite yang belum pubertas ini.

Hangat telapak tangan menyentuh rambut hitam keunguan Aine, mengelus tiap helai, begitu lembut dan murni pemberi ketenangan. Perlahan wajahnya mendongak, bertemu cantik sang bunda, memandang cembung mata warna sama milik dia yang melahirkan. Dalam ketegangan situasi, sifat keibuan tidak bisa menolong untuk tidak tersenyum pada sang anak.

"Bunda, apakah kita akan pergi? Di sini menyeramkan..." tanya Aine. Gaya nada penuh ingin tahu, tidak beda jauh dari saat sang bunda membawanya ke pegunungan Kalonia.

Wanita rambut hitam itu tersenyum, walau sedikit kecut. Hangat nafas tampak jelas; mengalir daripada indra pernafasan, termasuk mulut, menyapu permukaan ekspresi Aine. Jadi teringat ketika dia dan bunda menghabiskan waktu bersama, main lomba lari dan kejar-kejaran di halaman belakang balai desa; hembusan hangat ini sama dengan saat itu. Apakah bunda lelah?

"Ya, nak. Kamu pasti ingat saat bunda, ayah, kakak, dan kamu mengunjungi Pistakara?" pertanyaan itu mendapat anggukan dari Aine. "Sekarang, kita akan ke sana."

"Terus," Aine sekali lagi melihat sekeliling, "kita akan kembali ke sini lagi?"

Jawaban tidak mudah keluar. Bunda mengambil nafas dalam, menarik Aine ke dalam pelukan. Detak jantung bisa dirasakan si anak, pula naik turun dada. Bersama hela nafas, barulah keluar jawaban. "Tidak, nak, tidak akan pernah lagi. Tidak dalam satu tahun, tidak dalam satu dekade, bahkan tidak dalam satu abad. Ini... sudah bukan rumah kita."

"Bunda..." sang bunda menunduk mendengar panggilan si anak, "Aine takut."

Wanita vetalite itu menarik paksa senyuman pada wajah, dan memberi tepukan ringan di atas ubun-ubun sang anak. Dia berusaha memberi ketenangan untuk Aine; seperti malam-malam hari lalu, saat mimpi buruk adalah akibatnya. Bunda rindu tatkala mimpi hanya sekadar bualan kepala. Betapa mandul tidak berdaya gestur tersebut rasanya; karena pada saat ini, sang wanita pula mengunyah rasa yang sama─dan dia tergetar takut olehnya.

Dua prajurit mendekat dari belakang; tubuh dibalut zirah kain tebal, pada tangan mereka pedang dan tombak. Ekspresi keras tampak jelas, dan tatkala Aine melihat mereka dari balik pundak bunda, dia bisa merasakan berat dari apa yang akan keluar dari mulut. Sebagai akibatnya, dia memeluk sang bunda lebih erat, lebih menyeluruh.

"Tuan Bapak sudah menunggu anda, Tuan Ibu." satu dari mereka berucap.

Bunda berputar, menghadapkan dirinya dan Aine kepada mereka. "Bagaimana dengan Una? Apakah dia sudah siap untuk pergi?" respon dari kedua prajurit bukan jawaban lisan seketika, melainkan tatapan ragu, mereka berikan ke satu sama lain secara sekilas.

"Nona Una... beliau bilang akan menetap, Tuan Ibu." jawab salah satu.

Pada wajah bunda muncul sakit tidak terjelaskan pula tidak mampu dimengerti. Ekspresi yang begitu jarang dalam memori kecil seorang Aine, ia tidak bisa naik ke permukaan tanpa izin; muncul terakhir saat ayah memukul Una─kakaknya. Tangan Aine naik menggapai, pada ekspresi itu. Lembut jemari kecil meminta, berhasil menarik pancing pandangan, dipersatukan lalu bersama pipi sang dewi pemberi.

"Bunda, Aine akan selalu menemani bunda, kok." ujar anak itu, memberikan kecup kekanak-kanakan pada pipi bunda yang tidak terokupasi tangan. Mendengar ucapan tersebut, sang wanita vetalite tersenyum. Bahkan, telinga panjang miliknya bergoyang.

The Heart of YellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang