Chapter 3 ─ Part 1

69 14 2
                                    

Cangkul perunggu menghantam bumi, menarik keras satuan tanah kuat, menjadikannya lebih longgar dari satu sama lain. Tangan seorang pria menggapai tanah. Jemari kasar hasil kerja puluhan dekade memeriksa; dari kontur, warna, dan lembab bumi, semuanya cocok. Hitam tanah menjadi lubang kubur puluhan benih gandum. Satu-persatu tertabur, kemudian ditutup bumi, dengan sedikit senggolan cangkul.

Sowyn telah mengerjakan ladang sejak sebelum matahari naik menduduki tahta langit. Peluh keringat jatuh. Tulang bernyanyi puas saat punggung ditekuk ke kanan dan kiri. Dengan cangkul bersandar di bahu, Sowyn menuju gudang belakang rumah. Berbagai macam alat tani menggantung memenuhi tembok kayu gudang; pisau, palu, sabit, yang petani seperti dia butuhkan. Cangkul Sowyn taruh pada gantungan kosong. Lekas keluar, menutup pintu gudang yang dibuka sebelumnya.

Musik kicauan burung mewarnai udara, teman dari langkah pendek Sowyn. Dataran tempat dirinya berdiri berganti; dari tanah hijau kotor menjadi lantai kayu sederhana yang dimakan usia. Rumah ini sudah Sowyn tempati sejak lima puluh dua dekade lalu, namun tidak pernah sama sekali dia merasa tidak nyaman. Telinga panjang bagai sayap kupu-kupu berkedut. Desahan uap air panas Sowyn dengar, menarik pria itu ke tungku bata di dapur.

Panci berdiri di atas bata tungku, tertiup oleh cantika dansa api, gelembung mendidih muncul sepanjang muka kuah berwarna coklat agak gelap. Harum aroma daging, kentang, jamur, dan kombinasi herba lokal dan rempah asing memenuhi ruangan dapur, menyelinap ke bagian rumah lain. Sowyn menaruh masuk sudip kayu, mengaduk pelan-pelan isi kuali, kemudian menarik sesendok kuah coklat itu darinya. Dia tiup. Menyesap air kuah seolah-olah itu ialah bibir istri sendiri.

"Hmn. Sudah sempurna." Sowyn berucap ke dirinya sendiri.

Lingkaran thaumaturgi muncul pada telapak tangan. Ia meniup hilang api di bawah panci, menghisap semua panasnya ke diri Sowyn. Dari alam kita semua lahir, ke alam juga kita akan mati; itu merupakan hukum yang bermain pula di antara Sowyn dan api tersebut.

Dia menarik mangkuk dari barisan alat makan, lalu menuangkan isi panci ke dalamnya. Benda lain; piring, dia tarik, menaruh roti gandum yang dia simpan dari kemarin di atasnya. Dengan kedua makanan, Sowyn berjalan ke ruang tamu, di mana meja dan kursi makan berdiri. Duduk dia pada salah satu kursi, menaruh piring dan mangkuk di sana─Sowyn memakan apa yang dia masak.

Sendokan pertama, dia kunyah. Sendokan kedua, dia kunyah. Sendokan ketiga, ketukan di pintu. Sowyn berhenti mengunyah. Telinga panjang khas ras vetalite bergidik kecil. Dia menoleh, memandang pintu rumah dan berucap, "silahkan masuk!"

Pintu terbuka lebar. Enam pria; prajurit-prajurit Vetalite Hegemony dihiasi zirah dari ujung kepala hingga pojok kaki, melangkah masuk. Mereka semua melepaskan helm masing-masing. Ruang tamu rumah Sowyn dipenuhi aura mematikan. Seperti penggerebekan dan penjarahan akan terjadi─namun, vetalite pria rambut oranye pucat itu terlihat tidak khawatir; tenang, terlalu tenang, dan tidak ada keringat keluar sedikitpun, bahkan tetap memakan masakan.

"Selamat siang, Tuan Sowyn." salam prajurit terdepan, mendekati, berdiri di samping belakang. Tubuhnya tunduk ke sudut tajam, telapak menempel di mana jantung berada, lantas berdiri lurus kembali. "Saya datang membawa pesan dari Jendral Utama Rael. Anda dipanggil menghadap beliau di Pistakara."

"Dia membutuhkan saya? Hahaha. Untuk apa memangnya?" nada pertanyaan Sowyn penuh rasa tidak peduli, fokus pada makanannya, sibuk sendiri.

Sang prajurit menekuk leher, "apakah anda belum dengar?"

Sowyn menghantar punggung ke kursi, bersandar tenang, daging dan gandum memenuhi mulut. Jemarinya menggaruk kepala; dari pelipis hingga ubun atas, yang disusul ceklik lidah. Bahu naik sekilas. "Iya, saya sudah dengar, sejak dua setengah minggu lalu. Tapi, saya tidak punya urusan dengan itu, kan? Jadi saya tidak peduli." kalimat Sowyn terucap penuh keyakinan, sangat pasti; sang prajurit hanya bisa meneguk ludah mendengarkannya.

The Heart of YellowWhere stories live. Discover now