Chapter 4 ─ Part 2

39 7 1
                                    

"Demi... Rabb dan... Nabi Yosef!'

Bilah besi kapak; besar dan tajam, bangkit berdiri tinggi di bawah kilauan cahaya matahari, teman setia bagi teriakan basah prajurit Yosefianist ras sultahn terdepan formasi pasak. Semua meletus bersamaan, jawaban sederhana atas perintah sinyal maju hasil patikan peluit Kapten Barabas.

Tinggi tembok tameng berjalan maju. Lamban perlahan, dan pasti. Mereka tidak melindungi pembawanya saja, namun ratusan prajurit adamite di belakang, juga. Hentak langkah kaki para prajurit sultahn tidak bisa diabaikan, prestasi yang harus memakan banyak, banyak pria adamite sebagai penyetara suara. Kimos tidak takut ada di dekat mereka─dalam putaran emosi, malahan, dia merasa aman.

Sang pria mata hitam merasa kalau sentimen tersebut tidak dimiliki oleh semua saudara sekeprajuritan─Aisling pengecualian; pemuda Epatina di sampingnya sudah pasti akan setuju akan pendapat 'tidak takut' tersebut.

"Maju terus! Tetap tenang!" teriak perintah Kapten Barabas.

Bongkahan palu besi; itulah mereka semua di kejadian ini─berjalan pelan tetapi akurat, suatu ayunan logam berat bersedia tuk menghancurkan dan membuka tubuh berpenyakitan. Gerbang kayu tembok balai desa merangkak semakin dekat, ditarik langkah maju ratusan prajurit Rabb Maha Esa. Jarak dua ratus tombak, seratus lima puluh tombak, seratus tombak; angka yang terus menurun. Anehnya, mereka belum mendapatkan serangan balasan─hal yang semua prajurit Yosefianist antisipasi, dan sejujurnya, absennya serangan memupuk kekhawatiran.

"Kenapa... kenapa mereka belum menyerang?" tanya prajurit di kiri Aisling. Dia mengintip dari garis atas tameng, keraguan mewarnai kata-katanya.

"Mungkinkah mereka menyiapkan jebakan?" tambah prajurit lain di belakang.

"Tidak," Kimos menjawab dengan nada tegas, "kalau benar mereka memasang jebakan, kita sudah pasti mati sekarang. Mereka benar-benar tidak siap akan kedatangan kita." sekilas dia menoleh kepada dua prajurit yang berposisi di sisi kiri.

Aisling tidak bereaksi atau memberi sepeser pikirannya pada pertanyaan sang rekan. Pikiran dia, malahan, fokus ke atas tembok kayu balai desa. Tidak ada satu orangpun di atas sana. Tetapi, dia bisa mendengar teriak dan jerit kecil; para prajurit vetalite yang tengah ditelan panik atau ratusan budak yang sedang disiksa sebagai pelampiasan emosi?

Dia tidak yakin.

Renung pikiran Aisling berhenti secepat angin diganggu kemunculan warna hijau gelap nan dalam, terjalin jerat bayangan kuning tidak terhingga, meluap tumpah dari tembok balai desa ke seluruh arah. Itu memiliki kemiripan dengan terbitnya matahari yang ditutupi gunung maha tinggi.

"Mereka menyiapkan sesuatu!" teriak prajurit berposisi di ujung baris kiri formasi.

Cahaya sedemikian rupa membawa Aisling ke pandangan akrab─pertunjukan terang benderang yang seluruh regimen ketahui; pengaktifan dari lingkaran hermetik thaumaturgi tersembunyi di belakang gerbang dan tembok kayu.

"Angkat tameng kalian semua!" guntur Kimos, suara dia bertalikan campuran antara amarah dan urgensi. Rencana untuk menghantarkan mereka di balai desa ke dalam neraka sudah tertata rapi. Namun, dalam kekacauan pertempuran, rencana matang luluh seperti kabut pegunungan.

Gelombang suara dentur mengisi kekosongan udara, kecemerlangan batin mirip badai kilat dan guntur muntah keluar batas balai desa. Awalnya begitu kacau dan tidak memiliki arah, mereka melonjak naik menemui langit tinggi sebelum jatuh turun menghantam rumah gudang tepat di samping formasi pimpinan Kapten Barabas. Pecah bangunan itu menjadi potongan-potongan tidak terhitung, memusnahkan seluruh struktur sebenar-benarnya.

"Ya Rabb!" teriak kaget prajurit di belakang Kimos, hampir kena.

"Maju! Demi nama Rabb Maha Esa, maju!" teriak Kapten Barabas.

The Heart of YellowOnde histórias criam vida. Descubra agora