Chapter 4 ─ Part 1

66 9 0
                                    

Tanah bumi terasa keras dan kaku seperti batu dan angin berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya─melebihi sejuk, bahkan tatkala ayah tata surya; sang matahari, duduk di atas tahta langit menuangkan cahaya kuning hangatnya kepada Kimos, Aisling, dan prajurit-prajurit lain dalam barisan formasi seratus-serdadu pasukan Kapten Barabas. Tidak aneh kalau satu atau dua prajurit menggigil dan menggertak barisan gigi kedinginan, tanggung tahan rasa dingin tidak dimiliki semua orang.

Beruntung salju belum turun.

Jangan salah paham. Rencana penyerangan negeri Khairos merupakan hasil satu tahun diskusi Sang Nabi, Ahlan of Ya'mtu, dan Sahabah-Sahabah lain. Urusan logistik telah disiapkan sebaik-baik dan informasi dari mata-mata didapatkan seaman-amannya. Ekspektasi kematian dari musim dingin akanlah rendah. Namun sekali lagi, semua berencana, dan Rabb Maha Esa adalah perencana terbaik.

Strategi perang cipta tangan Sahabah Ahlan sudah diberikan dua minggu dua hari lalu. Pasukan Kapten Barabas dan sembilan belas Kapten lain diperintahkan ke garis depan untuk menduduki desa besar terdekat: Desa Damuna; dan mereka bermars dalam mayoritas waktu tersebut.

"Desa itu," gumam tidak berat Aisling memancing Kimos yang berjalan sejajar dengannya untuk melirik, "kau berasal dari sana, kan?"

Kimos mengangkat lurus kepala, terkekeh sekilas. Hitam mata memandang tombak tegak lurus dan kayu panji bendera. "Aku lahir di sana memang, namun, aku tidak akan menyebutnya tempat asalku. Desa itu tidak lebih dari neraka tempat kaum kita diternak. Bahkan, aku tidak tahu orang tuaku dan berasal dari mana mereka."

Aisling memalingkan pandang, melihat sisi wajah sang kawan. Mata hijaunya memicing penuh risau. "Aku tidak pernah melihat peternakan... kaum kita."

"Aku senang mendengar itu. Sayangnya, kau akan melihatnya segera." Kimos mengenggam keras tubuh kayu tombak bersandar pada bahu. Setiap langkah yang dirinya ambil mengantar Kimos semakin dekat dengan masa lalunya, di atas satu titik yang mana mereka-kan bertemu kembali.

"...Dan apa kau baik-baik saja dengan ini?"

Pertanyaan baru Aisling mendorong mata Kimos menemui hijau permatanya. Picing risau sang teman bisa dirasakan si pria kulit karamel seperti asam buah stroberi di lidah. "Dengan apa maksudmu?"

"Menghadapi masa lalumu." jawaban Aisling masuk melilit otak seperti peti mati kuburan raja-raja kuno negeri Gilmun. Meskipun kain rantai besi menutupi rona lelah muka, Kimos tidak mampu menyamarkan pengaruh campur ketakutan dan kecemasan dari sang teman.

Dia tidak bisa jujur. Tidak mungkin untuknya. Di dalam hati Kimos, terdapat suatu suara─teriakan, yang menghardik dia; untuk 'pergi', 'lari', dan 'kabur'. Semua bayangan gema kepatuhan lama. Pikiran sang anak Adam, terkontrol kewarasan, menolak perintah suara yang tidak diketahui. Dia diam-diam menyebut nama Sang Rabb di bawah tali napas.

"Aku... tidak tahu." kabut Kimos.

Dia tidak tahu. Bagaimana bisa di tahu?

Kimos tidak pernah membayangkan kalau dia akan menghadapi neraka yang tiap malam membuatnya terjaga. Ya, Kimos sadar penuh tatkala dia bergabung ke dalam baris prajurit Tuhan, mau tidak mau dia akan bertarung melawan mereka; para jiwa pemberbudak. Namun, sepanjang lima tahun pelayanannya, Kimos tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan didorong masuk ke dalam neraka pribadi, sekali lagi.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya khawatir Aisling. Keputusan harus diambil Kimos, segera, dan tidak bisa lagi diperpanjang.

"Aku akan terus berjalan," ucap Kimos, "tidak ada pilihan lain walau jantungku berdetak keras digerogoti rasa takut. Haruskah rasa takutku menjadi penyakit yang menyebar di antara ikhwan kita? Aku rasa tidak."

The Heart of YellowOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz