Chapter 5 ─ Part 1

55 8 0
                                    

Pedang dan tameng pada akhirnya diperistirahatkan. Dedikasi kepada perang telah dilakukan dalam waktu empat hari, meninggalkan curah sakit setelah dirinya pergi. Kabut perang luntur dan semua bisa bernafas lega. Mereka yang menang bergembira, dan mereka yang kalah bersedih. Setelah semua darah bersih tanggal dari tanah Ibu Bumi maka pembangunan ulang bisa dilakukan.

Tentu saja, pertama kali dalam agenda pasca pertempuran, adalah perdamaian.

"Rakyat Damuna, kami datang bukan untuk menaklukkan kalian!" kalimat keluar dari mulut seorang prajurit Yosefianist; berdiri di atas podium kotak kayu, berlapis baju zirah sisik dan kain hijau-hitam, dan dikawal puluhan prajurit lain. "Sebaliknya, kami kemari adalah untuk membebaskan kalian semua dari tuan-tuan zalimmu! Mereka meninggalkan kalian semua dalam kesusahan, kelaparan, dan kebingungan, kan? Kami tetap di sini, untuk menemani kalian, bukan?!"

Tidak ada suara balasan keluar dari kerumunan; senyap dan sunyi, semua perhatian jatuh pada prajurit tersebut. Lisan diam, itu benar. Tetapi, muka telah cukup untuk menjadi jendela emosi hati. Ekspresi khawatir, takut, dan cemas mewarnai kanvas rahang. Tidak ada ekspresi senang atau bahagia. Beberapa bahkan berdoa kepada Tuhan atau Dewa yang mereka percayai. Ini wajar, tentu saja. Tidak ada satu jiwa pun memandang positif perubahan cepat seperti ini.

Para Kapten Yosefianist mengetahuinya. Maka daripada itu, mereka kumpulkan kepala keluarga penduduk Desa Damuna setelah sarapan selesai. Dengan begini, setidaknya, mereka bisa mengerti akan seperti apa hidup ke depan.

"Kami mengerti kalau kalian masih curiga dan ragu kepada kami. Namun, atas nama Kapten Pertama Formasi; Kapten Barabas Ayzis, kami berikan jaminan berikut; kami tidak akan pernah melukai kalian ataupun keluargamu, kami tidak akan mencuri tanahmu, dan kami tidak akan melakukan tindak kejahatan padamu."

Telinga panjang khas vetalite berkedut. Tidak sedikit kepala keluarga menghela nafas lega. Rasa ragu dan curiga terhapus dari mayoritas wajah mereka. Walau tidak semua, ini termasuk perkembangan baik. Informasi lebih jauh terus diberikan prajurit tersebut. Dan, ketika pagi mulai mengancam untuk melangkah pergi dan digantikan siang, selesai aliran informasi tersebut. Setiap kepala keluarga bisa kembali ke keluarga masing-masing dengan kepala tetap ada di atas pundak.

Kekerasan tidak terjadi. Walau pertempuran baru selesai beberapa waktu lalu.

"Bukankah Imam Ingo yang biasanya melakukan penyampaian ini, pak?" Aisling berdiri di sisi lapangan balai desa, memalingkan wajah dari bubar pertemuan satu arah tidak singkat itu. Hijau mata bertemu ekspresi tenang Kapten Barabas.

"Iya, hanya saja dia sedang dipinjam pasukan kavaleri." jawabnya. Kapten Barabas menurunkan tangan dari silang tangan di dada.

"Begitu, pantas saja saya tidak melihat beliau akhir-akhir ini. Lalu, apa kita akan digarisunkan di sini, Kapten?" kembali Aisling bertanya.

"Tidak, sama sekali tidak. Kita sudah mendapat perintah lebih jauh untuk bertemu pasukan utama di luar Kota Pistakara. Kita akan bermars ke utara besok lusa." jelas Barabas. "Sepertinya kita akan mengepung kota itu bulan ini. Berharap saja kalau kita mempunyai cukup prajurit untuk menjatuhkan temboknya."

"Pak Barabas pernah ke sana?" Aisling mengangkat alis.

Barabas lekas menggeleng. "Tidak, aku dengar desas-desus saja. Katanya juga, kota itu punya ratusan menara untuk menyerang pengepung."

"Dengan Nona Aithne di sana, saya yakin kalau tembok kota itu akan bisa hancur dalam beberapa minggu saja. Musim dingin tidak akan jadi masalah besar, juga." komentar Aisling mengakibatkan alis kanan Barabas naik sedikit.

"Istri Sahabah Ahlan, ya." biru mata Barabas bergulir melirik Aisling. "Aku dengar dia seorang penyihir."

"Beliau tidak suka dipanggil sebutan itu, Kapten. Tetapi, kalau harus pakai nama tersebut... Nona Aithne merupakan penyihir terhebat di bumi ini." deklarasi sang pria mata hijau.

The Heart of YellowWhere stories live. Discover now