3 - Interogasi

155 20 1
                                    

3 – Interogasi

Reed mungkin harus bersyukur karena situasinya saat ini. Alih-alih kehilangan nyawa, saat ini ia berada di ruang tamu rumah itu dengan teh hangat yang tersaji di meja. Meski, Reed harus mempertimbangkan sebelum menyeruput minuman di depannya itu. Siapa yang tahu, racun macam apa yang ada di dalamnya?

Setelah keributan karena pernyataan Reed tadi berhenti hanya dengan satu perintah dari Remia, "Silence!", Remia memberi perintah pada head butler untuk menyiapkan ruang tamu untuk mereka. Begitulah, mereka akhirnya memindahkan perang mematikan ini ke tempat ini.

Di tengah situasi mencekam itu, Reed masih tak melepaskan tangan Elaine. Reed sendiri tak tahu apa yang membuatnya menjadi senekat ini. Mungkin, karena selama ini sudah terbiasa dengan situasi berbahaya yang membuatnya mengambil keputusan nekat untuk menyelamatkan diri. Namun, ini benar-benar situasi berbahaya dengan level yang berbeda.

"So ... is it really love?" Remia membuka interogasi.

"Ya," jawab Elaine tanpa ragu.

Dengusan tak percaya terdengar dari beberapa kakak Elaine.

"Apa menurutmu ini masuk akal?" tanya Remia dengan suara tenang. Sesuai reputasinya, wanita itu selalu bisa tenang dalam situasi apa pun. Publik mengenalnya sebagai sosok dingin yang tak bisa disentuh. Setiap keputusan yang diambilnya selalu berdasarkan rasionalitas, dalam situasi apa pun.

"Jika itu masuk akal, itu bukan cinta," Elaine berani menjawab.

Reed mengerjap. Jika itu masuk akal, itu bukan cinta, huh? Gadis ini benar-benar ... punya interpretasi sempurna tentang cinta. Bahkan Reed pun tak percaya cinta. Karena ketidakmasukakalan hal itu.

"Kau yakin kau akan melakukan ini, Elaine?" Remia menatap Elaine lekat.

"Ya," jawab Elaine tanpa ragu. "Aku jatuh cinta. Apa yang bisa kulakukan jika hatiku memilihnya?"

"Siapa yang mengajarimu beromong kosong seperti itu?" Katya menggerutu kesal. "Kak, aku tak bisa lagi mendengarkan ini," adunya pada Remia.

Omong kosong, yeah. Jika Reed tidak berada di pihak Elaine, dia pasti langsung menyetujui itu. Semua yang dikatakan Elaine adalah omong kosong. Terlebih, cinta sendiri adalah omong kosong. Namun, itu tak berlaku bagi Reed saat ini. Karena saat ini, ia sedang jatuh cinta. Setidaknya di depan para Darwin yang siap menerkamnya ini.

"Satu bulan," Remia berkata. "Jika dalam satu bulan kalian masih percaya itu cinta, aku akan menyiapkan sendiri pesta pernikahan kalian. Aku akan menyiapkan hadiah pernikahan khusus untuk kalian. Tentu saja. Aku juga ... akan memberikan benefit lainnya." Remia menatap Reed. "Itu, jika kau bisa bertahan selama satu bulan."

Satu bulan? Ah ... Reed sepertinya harus bersiap menghadapi neraka dalam satu bulan ini. Namun, itu hanya waktu yang singkat dibandingkan bertahun-tahun ketidakberdayaan yang ia lewati di keluarga Barraga.

"Tentu saja," Reed menjawab. "Itu bukan masalah."

***

Setelah mendengar persetujuan Reed atas tantangan Remia tadi, Remia lantas meninggalkan ruang tamu itu bersama kelima kakak Elaine lainnya. Katya dan Davon tampak menahan diri untuk tidak langsung menyerbu Elaine dengan protes mereka karena perintah terakhir Remia pada mereka tadi,

"Tak perlu ribut tentang masalah ini. Kalian hanya harus melakukan apa yang kalian lakukan seperti biasa."

Uh ... itu maksudnya, mereka hanya harus mengawasi Elaine seperti biasanya. Sementara, dia sendiri yang akan mengurus Reed. Elaine mendadak merasa bersalah pada Reed.

"Maaf," Elaine berkata begitu hanya tinggal mereka di ruangan itu. "Aku tak menyangka kakakku akan memberi syarat seperti itu. Sepertinya dia berniat melakukan sesuatu dengan perusahaan dan keluargamu. Posisimu sudah cukup buruk di keluargamu. Jika kakakku ikut campur, kamu pasti ..."

"It's okay," Reed menyela rentetan kekhawatiran Elaine. "Aku sudah terbiasa menghadapi hal-hal seperti itu. Dan hal seperti itu tidak akan membuatku mundur."

Elaine mengerjap. "Kamu ... yakin?" Elaine mau tak mau mulai ragu juga. Ia mulai takut dan juga merasa bersalah. "Kalau kamu menerima penawaran kakakku, kamu tidak perlu ..."

"Besok," Reed menyela lagi. "Besok aku akan memberikan jawabannya padamu."

"Ah ..."

"Karena itu, jangan menyerah karena hal seperti ini," lanjut pria itu. "Karena aku juga tidak akan mundur." Pria itu tampak bertekad.

Sejujurnya, Elaine tidak tahu banyak tentang pria itu selain informasi yang didapatkannya dari Nancy, nanny yang kini menjadi personal assistent-nya. Ini pertama kalinya mereka bertemu. Namun, tak seperti Elaine, pria itu tak sedikit pun menunjukkan keraguan atas keputusannya untuk menerima penawaran Elaine.

Namun, seperti yang dikatakan pria itu, Elaine tak bisa menanyakan itu di sini. Besok. Mereka akan bertemu dan berbicara lebih banyak besok.

"Makanan apa yang paling kamu suka?" tanya pria itu kemudian.

Elaine mengangkat alis.

"Untuk seseorang yang jatuh cinta, kurasa aku perlu tahu itu," pria itu menjelaskan.

"Ah ..." Elaine tersenyum. Pria ini beradaptasi dengan cepat. "Es krim. Aku sangat suka es krim. Dan aku ingin mencoba segala macam rasa es krim."

Reed tampak terkejut, tapi pria itu kemudian mengangguk. "Aku akan mengingat itu."

Selama beberapa saat kemudian, mereka tak saling bicara. Terlepas dari banyaknya hal yang ingin Elaine bicarakan dengan pria itu, Elaine harus menahan diri. Dan sepertinya, calon suaminya ini bukan tipikal yang banyak bicara.

Pertemuan pertama mereka itu harus berakhir tak lama kemudian ketika head butler keluarganya masuk ke ruang tamu dan mengatakan akan mengantarkan Reed ke depan. Itu berarti, waktu yang diberikan Remia untuk mereka berdua sudah habis untuk malam ini.

Namun, besok ... mereka akan bertemu lagi besok. Elaine mendapati dirinya tak sabar untuk menanti esok hari karenanya.

***

Our Contract MarriageWhere stories live. Discover now