18 - Every Little Thing

105 14 0
                                    

18 – Every Little Thing

"Mendekatlah agar aku bisa melindungimu dari angin," ucap Reed sembari merengkuh bahu Elaine yang duduk di sebelahnya.

Elaine menurut dan bergeser merapat pada Reed. Lalu, pria itu merapatkan selimut yang menutupi bahu Elaine sebelum kembali merangkul bahu Elaine. Pria itu benar. Semakin Elaine dekat padanya, ia semakin terlindungi dari angin. Lehernya tidak terasa sedingin tadi karena lengan Reed merangkulnya.

"Kamu benar," Elaine berkata. "Begini lebih hangat." Elaine merapatkan kepalanya ke dada Reed.

Reed berdehem pelan. "Tapi, apa kamu tidak lelah?" tanya pria itu.

"Sejujurnya, aku lelah. Dan aku masih mengantuk," aku Elaine. "Tapi, aku benar-benar tak sabar untuk pergi kemari dan melihat sendiri matahari terbit dari tempat ini."

"Kita bisa melihatnya besok," Reed membalas. "Kita akan berada di sini sampai akhir pekan."

"Aku tahu. Hanya ... aku ingin segera memastikan diriku jika ini bukan mimpi," ungkap Elaine.

"Apa maksudmu?" Reed terdengar bingung.

Elaine tersenyum sendu. "Bahkan hingga saat ini, aku masih tak percaya jika aku benar-benar bisa pergi ke tempat ini untuk melihat matahari terbit," urainya. "Aku merasa perlu meyakinkan diriku sendiri jika ini bukan mimpi."

Elaine tersentak kecil tatkala Reed menarik bahu Elaine hingga Elaine sepenuhnya bersandar pada pria itu sekarang. Lalu, Elaine merasakan embusan angin yang cukup kencang, tapi kemudian terhalang selimut yang dinaikkan Reed hingga menutupi kepala Elaine.

Sembari menurunkan selimut dari kepala Elaine, pria itu berkata,

"Ini bukan mimpi. Angin sedingin ini tidak akan muncul dalam mimpi."

Elaine tak bisa menahan tawa mendengar itu. Yeah, ini bukan mimpi. Syukurlah.

"Apa lagi yang ingin kamu lakukan setelah ini?" tanya Reed.

"Um ... aku harus memikirkannya lagi. Kurasa setelah ini aku harus beristirahat," ucap Elaine sembari menyusut hidungnya. "Hidungku sudah berair hanya karena angin dan cuaca dingin ini."

"Ide bagus," tanggap Reed.

"Kuharap mataharinya segera terbit agar ..." Kalimat Elaine terhenti karena ia tiba-tiba bersin. "Oh, maaf ..."

"Well, please excuse me ..."

Setelah Reed mengatakan itu, Elaine merasakan tangan Reed di punggung dan di bawah lututnya, lalu tubuhnya terangkat dan dia berpindah di depan pria itu. Itu belum berakhir. Reed lantas menutupi tubuh mereka dengan selimut di atas kedua lengannya yang mengurung Elaine. Rasanya seperti Elaine memakai mantel dan selimut.

Tidak, tidak. Mungkin karena tubuh Reed yang lebih besar darinya, rasanya seperti berada di pelukan beruang. Elaine merasa hangat dan aman. Elaine tersenyum geli.

"Maaf jika kamu merasa tidak nyaman, tapi ini bisa membuatmu merasa lebih hangat," Reed berkata di belakangnya.

Elaine terkekeh. "Baiklah. Terima kasih, Reed."

Jika ini kakak-kakaknya, Elaine pasti sudah dibawa kembali ke villa dan langsung diperiksa dokter. Datang kemari bersama Reed adalah keputusan yang benar.

***

"Elaine, bangun. Mataharinya mulai muncul," Reed membangunkan Elaine yang tertidur dengan kepala bersandar di lengan Reed.

Elaine seketika menegakkan tubuh, nyaris membuat kepalanya menghantam dagu Reed yang sedikit menunduk untuk membangunkannya.

"Ugh, aku tak percaya aku tertidur. Kuharap aku tidak ketinggalan pemandangan cantiknya ..."

"Sama sekali tidak," Reed menenangkan gadis itu. "Lihatlah ke depan ..."

"Whoa ... cantiknya ..." gumam Elaine penuh kekaguman menatap cahaya jingga yang membelah lautan di depan mereka itu. "Ini jauh lebih indah dari yang kulihat di video-video yang kuminta pada kakak-kakakku. Bahkan video terbaik dari mereka pun tak bisa mengalahkan pemandangan yang bisa kulihat langsung dengan mataku."

Ah ... lensa kamera tentu tidak akan bisa dibandingkan dengan apa yang mereka lihat ini. Bahkan Reed pun terpukau.

Ia tak pernah menikmati hal seperti ini. Ia tak pernah merasa hal seperti ini menarik. Namun, melihat langsung seperti ini, di momen ini ...

"Oh, aku tak tahu kenapa aku mendadak merasa ingin menangis ..." Suara Elaine tercekat.

Reed tak membalas. Ia tidak bisa membalas. Karena kata-kata gadis itu membawa emosi yang membuat tenggorokannya seolah tersumbat.

"Dan aku masih tak percaya, ini hanyalah awalnya ..." Elaine terdengar terharu. "Terima kasih, Reed. Tanpamu, aku tidak akan bisa berada di sini saat ini. Tanpamu, bahkan membayanagkan aku bisa melihat matahari terbenam nanti sore dari tempat terbaik di sini pun aku tidak akan berani."

Reed merasa ada tangan tak nampak yang mencengkeram dadanya. Rasa sesak yang membuatnya frustrasi ini ... perasaan apa ini?

"Ya, Elaine," Reed menjawab. "Ke mana pun kamu ingin pergi, apa pun yang ingin kamu lihat, kita bisa pergi dan melihatnya."

Mengejutkan Reed, Elaine menoleh ke belakang dan tersenyum lebar padanya.

"Menikah denganmu benar-benar keputusan yang tepat," ucap gadis itu.

Saat ini, Reed menyadari, bahkan pemandangan matahari terbit di depan sana tidak akan bisa mengalahkan apa yang dilihat Reed saat ini. Sinar di mata gadis itu seolah mengalahkan sinar matahari yang mulai naik dengan cepat di ujung garis laut sana.

Sinar matahari di depan sana belum cukup tinggi untuk menebarkan hangat, tapi Reed sudah merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia tak pernah tahu, seseorang bisa memberikan efek seperti matahari baginya.

Reed juga tak pernah tahu, setiap hal tentang Elaine, sekecil apa pun itu, bisa mempengaruhi Reed seperti ini. Apa gadis ini sebenarnya?

***

"I wish I can cut that hands ..." geram Davon sembari meremas kesal foto yang barusan dilihatnya itu. Foto Elaine dan Reed di atas batu karang di tepi pantai, tampak menikmati pemandangan matahari terbit.

"Take your time," Remia menanggapi.

"Berani-beraninya dia mencari kesempatan dalam kesempitan!" Katya mengomel. "Berani-beraninya dia ...!"

"Jangan terlalu keras padanya ..." Aaron mengibaskan tangan santai. "Bukankah ini bisa menjadi kesempatan kita?"

"Kesempatan apa?" Katya menyipitkan mata.

"Dia berani membawa Elaine ke tempat seperti itu terlepas dari kondisi dan cuaca. Bukankah itu berarti dia harus bertanggung jawab jika sesuatu terjadi pada Elaine?" sebut Aaron.

Jerome mendengus pelan. "Maksudmu, kita bisa menjadikan itu alasan untuk membawa Elaine pergi dari suaminya?"

Aaron tersenyum penuh kemenangan. "Bukankah itu alasan yang tak akan bisa didebat bahkan meski dia adalah suami Elaine?"

"Can't you see her smile?" Shane angkat bicara. "Di hampir semua foto ini, Elaine tersenyum. Apa kalian benar-benar tak melihat itu atau ... mengakui itu terlalu menyakiti harga diri kalian?"

"Shane, kau Pengkhianat ..."

"Enough," Remia menyela geraman marah Davon. "Kita akan mengamati situasinya dulu sebelum mengambil keputusan."

Davon dan Katya mendecak tak puas mendengar itu. Sementara, Aaron tiba-tiba bergumam,

"Harga diri, huh?"

Tatapan Aaron lekat di satu lembar foto yang ada di tangannya.

***

Our Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang